Menggugat Pasal-pasal Hukum Pidana Penghinaan
Kasus penghinaan dan pencemaran nama baik di era kemajuan
internet saat ini menjadi sangat jamak. Yang terbaru adalah pengaduan dari
Ketua DPR Setya Novanto yang melaporkan pemilik akun di media sosial karenamembuat
meme tentang dirinya ketika dirawat di rumah sakit. Polisi pun telah mengambil
tindakan atas pelaporan tersebut. Ada 32 pemilik akun yang diselidiki dan baru
9 saja yang akan diperiksa lebih lanjut. Kasus ini memunculkan kegusaran
dikalangan masyarakat mengingat ada ketidakadilan yang tersaji karena hanya
karena menyebarkan meme, seseorang harus berurusan dengan hukum.
Pasal-pasal hukum mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik memang telah lama
menjadi kontroversi. Pasal-pasal penghinaan ini sebenarnya sudah tidak relevan
dalam sistem demokrasi.
Pencemaran nama baik termasuk bentuk penghinaan. Dalam penjelasan
mengenai tindakan penghinaan disebutkan bahwa unsur adanya tuduhan kepada
seseorang telah melakukan tindakan tertentu menjadi sangat penting. Seseorang
disebut melakukan tindakan penghinaan, apabila dia menuduh seseorang lainnya
melakukan tindakan tertentu yang dalam masyarakat dianggap sebagai perbuatan
yang tidak baik seperti melanggar hukum atau melanggar norma kesusilaan yang
dijunjunng tinggi oleh masyarakat. Misalnya
si A menuduh si B melakukan perbuatan pencurian, pemerkosaan, pelecehan seksual
dan korupsi. Atau si A menuduh si B sebagai pelacur, perusak rumah tangga
orang, atau bentuk perbuatan lainnya yang dianggap buruk oleh masyarakat. Biasanya,
perbuatan penghinaan dapat pula berupa
fitnah sehingga fitnah juga adalah pencemaran nama baik.
Pasal-pasal hukum yang menjerat pelaku penghinaan terdapat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada pasal 310, 311 dan 315.
Ancaman hukumannya maksimal 4 tahun.
Selain dalam KUHP, pasal penghinaan juga tercantum dalam UU No 11 tahun 2008
tentang ITE yang dirubah menjadi UU No 19 tahun 2016. Ancaman hukuman di
pasal-pasal penghinaan dalam UU ITE maksimal penjara 4 tahun.
Kritik terhadap pasal-pasal penghinaan di dalam hukum pidana
di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama disampaikan. Bahkan ada sejumlah upaya
judicial review dilakukan ke Mahkamah Konstitusi untuk menggugurkan hukum
penghinaan. Namun semua upaya tersebut gagal sehingga pasal-pasal hukum yang
menjerat pelaku penghinaan masih terdapat dalam Hukum di Indonesia.
Penghinaan sebagai bentuk perbuatan secara hukum positif
sebenarnya dianggap tidak layak dipertahankan karena mengandung sejumlah cacat
asas. Berikut adalah beberapa penjelasan berkaitan dengan cacat asas hukum dari
pasal-pasal penghinaan :
Pertama. Dilanggarnya asas praduga tak bersalah (presumption
of Innonce). Perbuatan penghinaan yang umumnya dilakukan melalui bentuk ucapan
atau ujaran (lisan maupun tulisan) ketika menjadi delik, pihak yang merasa
dihina sudah menjustifikasi bahwa tertuduh telah bersalah. Hakim yang
menyidangkan perkara penghinaan hanya membutuhkan pengakuan bahwa korban merasa
terhina. Sementara, dalam soal rasa terhina, tentu saja bersifat sangat
subyektif.
Kedua. Penghinaan sebagai perbuatan pidana tidak memiliki
batasan yang jelas (non limitative). Korban tidak memiliki batasan yang jelas
mengenai soal apa sesungguhnya yang menjadi kerugiannya. Jika korban
meyampaikan bahwa kerugiannya adalah nama baiknya tercemar, maka akan sangat
sulit sesungguhnya untuk membuktikan seperti apakah nama yang tercemar
tersebut. Lagi-lagi ini sifatnya akan sangat subyektif.
Ketiga. Pengaturan hukum
penghinaan yang mengandung unsur subyektifitas sangat tinggi, akan muncul
kerentanan dipergunakan sebagai alat untuk balas dendam. Padahal hukum
seharusnya tidak digunakan sebagai sarana untuk melakukan balas dendam.
Korban dari tindakan penghinaan tentu dapat menggunakan
argumentasi bahwa terdapat rasa keadilan
dari diri mereka yang terkoyak sehingga melakukan penuntutan secara hukum untuk
memenuhi rasa keadilan. Nama baik yang tercemar akan menimbulkan rasa sakit
hati yang mendalam. Menjadikan hidup korban tidak lagi nyaman. Hanya saja,
kondisi psikologis seperti ini tentu sangat subyektif, tidak akan sama pada
setiap orang. Kerugian dari rasa sakit hati tidak bisa dijelaskan secara
materiil baik dampak individu maupun dampak sosialnya. Berbeda halnya dengan
mereka yang menjadi korban tindakan pidana umum seperti pencurian, perampokan,
pembunuhan atau pemerkosaan.
Pasal penghinaan dan pencemaran nama baik sudah seharusnya
dikeluarkan dari hukum pidana. Negara tentu saja masih bisa menerima pengaduan
dari korban penghinaan dan pencemaran nama baik dengan menyediakan gugatan
perdata sehingga menjadi jelas kerugian yang ingin dimintakan korban kepada pelaku penghinaan.
Dengan demikian akan jelas pula bentuk kerugian yang dialami oleh korban. Memenjarakan badan pelaku penghinaan hanyalah wujud dari balas dendam dan bukan pemenuhan atas rasa keadilan yang terkoyak.
Semarang, 4 November 2017
Komentar