Polisi Moral dan Tuhan Pemarah
Dalam sebuah perdebatan yang diunggah di facebook, seorang
yang mengatakan bahwa urusan perbuatan asusila yang dilakukan adalah dosa yang
akan ditanggung secara pribadi-pribadi setelah kematian sehingga tidak perlu ada
orang yang menjadi polisi moral, dijawab dengan keras oleh seorang pemuka
agama. Dengan nada tinggi sang pemuka agama berkata “Enak saja mengatakan
ditanggung pribadi-pribadi, emang kalau nanti tuhan murka karena maraknya
tindakan asusila lalu menurunkan bencana alam yang mati cuma pelaku asusila
saja? Yang baik-baik juga ikut mati tau!!!”.
Menyimak perdebatan itu, saya lalu sedikit memahami cerita yang
sekitar akhir Desember 2017 viral di media sosial ketika seorang perempuan
bernama Sri Mulyani yang menegur 2 orang laki-laki yang disangka gay karena nampak bermesraan diatas
motor saat lampu merah. Selain cerita
Sri Mulyani ini, sempat ramai tentang pasangan yang diduga sedang berbuat mesum
digrebek warga, ditelanjangi dan diarak keliling kampung. Kejadiannya di Cikupa
Kabupaten Tanggerang sekitar pertengahan November 2017. Dari kedua kejadian
ini, mereka ditegur dipermalukan di media sosial dan yang ditelanjangi adalah
tertuduh pelaku perbuatan asusila, perbuatan tak bermoral . Jadi, Sri Mulyani
dan warga di Cikupa Tanggerang adalah mereka yang menggangap diri sebagai
polisi moral.
Ketika saya belum mendengar pernyataan pemuka agama seperti
diawal tulisan saya ini, saya diliputi kebingungan oleh ulah mereka yang
menjadi polisi moral. Mengapa mereka sibuk menegur bahkan bertindak terlalu
jauh untuk menghukum perbuatan-perbuatan yang sebenarnya adalah urusan
pribadi-pribadi manusia. Tetapi kini saya
jadi agak memahami bahwa kemungkinan besar tindakan mereka itu didasari
ketakutan kalau tuhan akan marah lalu menghukum semua umat manusia dengan
menurunkan bencana. Mereka adalah para polisi
moral, penjaga hati tuhan agar tidak menurunkan murka amarahnya kepada dunia.
Masalah muncul ketika tindakan Sri Mulyani ini tidaklah
sesuai seperti apa yang dipikirkan. Ternyata kedua orang yang dianggap
bermesraan bukan kaum LGBT. Demikian
pula cerita pasangan laki perempuan yang digrebeg di Tanggerang dan diarak
telanjang ternyata adalah tunangan yang akan segera menikah. Perbuatan mesum
yang ditudingkan warga dibantah keras.
Kedua kejadian tersebut menunjukkan bahwa tindakan menjadi
polisi moral, sangatlah rentan mengalami salah penilaian sehingga berdampak
buruk. Perbuatan seseorang yang dalam pandangan kita berdosa, belumlah tentu
seperti apa yang kita pikirkan.
Disamping itu, kepercayaan bahwa tuhan adalah pemarah yang
bisa menurunkan bencana seperti yang disebutkan dalam ajaran-ajaran agama, tidaklah bijak
untuk memahaminya secara dangkal. Tuhan yang memberi hukuman haruslah
dikontekstualkan dengan soal keberadaan surga dan neraka. Artinya, dosa setiap
manusia adalah murni urusan masing-masing yang harus dipertanggungjawabkan
nantinya setelah kematian. Bukankah itu yang menjadi dasar adanya surga dan
neraka? Jika meyakini ada surga dan neraka setelah kematian, maka tuhan akan
menghukum yang berdosa setelah mereka mati. Tidaklah mungkin tuhan akan juga
menghukum manusia yang tidak berdosa, karena jika itu yang dilakukan tuhan,
lalu untuk apa ada surga?
Kepercayaan tuhan yang marah akibat berdosanya ulah manusia lalu
menurunkan bencana tidak selalu terbukti. Memang ada cerita soal Sodom gomora
dimana tuhan meluncurkan bencana di kota tersebut akibat maraknya prilaku
homoseksualitas. Tetapi bagaimana kemudian menjelaskan soal bencana alam yang
terjadi di Aceh tahun 2004 ketika tsunami menerjang? Apakah karena di Aceh
bergelimang dosa? Atau bagaimana menjelaskan bencana kemanusiaan di
negara-negara yang berbasis agama di timur tengah yang tidak henti-hentinya
berperang? Ribuan manusia tewas dan ribuan lainnya mengungsi.
Mari kita akan layangkan pikiran sejenak pada kondisi di
Eropa yang mungkin disebut sangat sekuler dan ada banyak manusia ateis yang
hidup disana. Perbuatan-perbuatan yang di sini dianggap asusila, di sana
dianggap biasa saja. Bahkan ada negara yang misalnya mengesahkan pernikahan
sesama jenis. Mengapa mereka secara kasat mata kita lihat hidup lebih
sejahtera? Mengapa gunungnya tidak meletus segera? Mengapa tsunami tidak
langsung menerjang?
Maka, tuhan sesungguhnya tidaklah pemarah. Kalaupun
mempercayai tuhan ada, mungkin keberadaannya adalah berwujud kasih bukan kemarahan. Dan
kasih tuhan adalah dalam hal menilai manusia dari perbuatannya dalam mewujudkan
kemanusiaan. Manusia yang menghargai
kemanusiaan, memanusiakan manusia, tidak merugikan orang lain dan hidup selalu
bekerja keras disiplin tinggi tanpa menggantungkan segalanya pada ritual,mantra
dan doa semata, kepada merekalah kasih tuhan diberikan. Sesungguhnya Tuhan hanyalah Maha Kasih, dan karena itulah tidak mungkin menjadi pemarah.
Semarang, 28 Desember 2017
Komentar