Banjir, Kemunafikan dan Birokrasi

Banjir melanda sejumlah daerah, termasuk di Kota Semarang--kota tempat saya bermukim saat ini. Banjir di kota ini bukanlah sesuatu yang baru. Jika Waljinah lewat lagu "Walang Kekek" nya dengan salah satu liriknya "Semarang kali ne banjir" maka siapapun dari kita pasti mengamini bahwa Kota yang berusia hampir lebih dari empat abad ini sangat identik dengan banjir. Sebuah dialog di Cakra Semarang TV tadi malam (Rabu 15/1) membahas tentang masalah banjir, menghadirkan banyak solusi. Penyebab banjir di Kota Semarangpun diulas dan langkah yang musti dilakukan. Ini bukan yang pertama, karena membahas antisipasi banjir sudah cukup sering dibicarakan di Media massa. Hanya saja yangjadi persoalan, semakin kesini masalah banjir bukannya semakin mereda justru semakin parah.

Denpasar, kota kelahiran saya juga mengalami hala serupa. Banjir memang sudah menjadi langganan setiap tahun. Ketika saya masih aktif menjadi wartawan di Bali Post juga topik menangani Banjir menjadi hal yang sudah sering mengemuka. Solusi mencegah agar tidak semakin parah juga cukup jelas dan sangat mungkin diterapkan. Tetapi ya itu tadi, masalah nya bukan menjadi semakin baik, banjir justru semakin parah.

Lalu apa yang salah pada diri kita dan juga pada pemerintahan yang memegang kendali pengaturan hidup masyarakatnya? Jika banjir adalah sebuah bencana akibat ulah manusia, seharusnya solusi-solusi yang ditawarkan dilakukan agar Banjir tidak semakin parah. Kenyataannya semua solusi-solusi itu hanya menjadi semacam obrolan tak berguna yang membuat banyak kepala mengangguk-angguk ketika mendengarnya, seolah-olah setuju, tetapi tidak benar-benar dilaksanakan. Begitu juga soal simpel bin sederhana yang sudah kita dengar dari sejak kecil yang bisa efektif mencegah banjir. "Jangan buang Sampah Sembarangan!". Tetapi nyatanya hampir semua saluran pembuangan air selalu penuh sampah akibat sampah dibuang sembarangan. Ini memberikan kita gambaran bagaimana sesungguhnya kompleksnya pikiran dan prilaku manusia. Lebih-lebih manusia Indonesia yang prosentase kesesuaian antara pikiran, pembicaraan dan prilaku tindakan sangat rendah nyaris mendekati nol. Artinya kita sangat banyak yang tidak mampu berpikir, berbuat dan bertindak yang sama. Pikirannya kemana, bicara kemana, prilakunya juga kemana.

Lalu bagaimana dengan upaya mencegah Banjir di sebuah kota dengan menjaga hutan dan daerah dataran tinggi agar tidak dirusak dan resapan air bisa optimal. Ini porsi pemerintah. Ini logika sederhana yang tidak bisa dibantah. Kalau daerah resapan air berkurang apalagi rusak parah, maka tiada ampun lagi, banjir akan menerjang. Faktanya perusakan hutan semakin parah, bukit-bukit dibangun vila dan rumah mewah dan alam dirusak seenaknya. Lalu kemana pemerintah? Kemana para pejabat birokrasinya? Kemana mereka yang memakan hampir 70 persen pajak rakyat? Kemana polisi, penegak hukum dan aturan? Apa kerja mereka? Mengapa perusakan hutan dan alam ini dibiarkan terjadi? Pertanyaan-pertanyaan ini terus mendera, lalu berhenti pada pertanyaan besar "BENARKAH KITA MEMBUTUHKAN BIROKRASI PEMERINTAHAN?" Menangani dan mencegah banjir saja mereka tidak becus.

Komentar

Postingan Populer