Demokrasi Menyuburkan Terorisme di Indonesia?

Pilihan menjadi negara demokrasi bagi Indonesia jelas bukanlah tanpa resiko. Tetapi Sayangnya bangsa ini tidak siap menyikapi dengan bijak semua resiko dari efek samping sistem demokrasi. Bahkan demokrasi yang sedemikian liberalnya di Indonesia saat ini diyakini sementara pihak menjadi penyebab suburnya tindakan terorisme di tanah air. Mungkin pernyataan ini ada benarnya mengingat Bom berbau terorisme agama terus saja meledak di Indonesia seolah-olah tidak ada satupun yang bisa mencegahnya.

Demokrasi memberi ruang bagi setiap individu didalam masyarakat untuk mengekspresikan kepentingan politiknya dihadapan publik. Hampir semua bentuk ideologi kemudian menjadi punya hak untuk hidup kecuali ideologi komunis yang memang masih sangat dimusuhi oleh negara. Meski sudah jelas bahwa konstitusi negara Indonesia menyebutkan Pancasila sebagai dasar negara, faktanya ideologi berbasis agama dibiarkan tetap tumbuh subur dan berkembang dengan sebebas-bebasnya mulai dari yang beraliran lembut sampai yang super keras. Tidak ada lagi pembatasan dan setiap upaya pembatasan akan dituding sebagai bentuk anti demokrasi.

Faktanya pasca Reformasi berbagai ragam konflik-konflik yang sebenarnya sangat suit dijumpai di masa orde Baru mengemuka dan menjadi tontonan keseharian masyarakat Indonesia. Mulai dari konflik di Ambon, Poso, lalu aksi organisasi yang dengan arogan dan secara terbuka melakukan tindakan anarkis atas nama agama seolah-olah tidak mampu (tidak mau?) diselesaikan dan diantisipasi aparat keamanan. Demikian juga dengan tindakah dan aksi terorisme. Bom bali I dan II lalu Bom di Jakarta yang beberapa kali meledak memberikan kita gambaran betapa bebasnya teroris di Indonesia.

Para elite politik di tingkat pusat termasuk mereka yang duduk sebagai pimpinan negara saat ini, sepertinya berperan sangat penting pada tumbuh suburnya terorisme. Masalah agama sebagai sebuah keyakinan dimainkan dimensi politisnya dengan sangat piawai oleh para pemimpin. Isu agama ini pasca reformasi menjadi isu yang sangat penting untuk menggaet dukungan politis. Banyak pemimpin yang duduk di kursi kekuasaan enggan dengan tegas menyikapi gerakan-gerakan yang sesungguhnya mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber Bhineka Tunggal Ika. Keengganan mereka tidak lepas dari ketakutan akan kehilangan dukungan politis. Dengan sistem demokrasi yang demikian terbuka dimana setiap pemimpin dipilih melalui sebuah pemilihan umum, maka dukungan dari basis agama tentulah jalan pintas yang sangat perlu diperlihara. Kita lalu bisa melihat bagaimana lemahnya kepemimpinan nasional atas munculnya perda-perda yang didasarkan pada keyakinan agama tertentu.

Ditingkat akar rumput, ketiadaan sikap tegas pemimpin atas isu-isu agama yang mengancam NKRI diterjemahkan dalam bentuk yang sangat permisif dan penerimaan yang tanpa filter memadai atas gerakan-gerakan yang bergerak menjauh dari cita-cita Pancasila. Tidaklah heran kalau kemudian disebutkan rakyat sangat permisif atas gerakan para terorisme. Demikian juga bagaimana "dibiarkannya" dengan bebas Nurdin M Top bergerak di Indonesia yang menebar bibit-bibit terorisme. Identitas-identitas dan aktivitas-aktivitas keagamaan dibiarkan bergerak terlalu bebas dan tidak ada satupun yang mampu (tidak mau??) mengontrol sekalipun itu membahayakan ekistensi NKRI.

Nampaknya demokrasi di Indonesia membawa konsekuensi pada tidak jelas dan tegasnya banyak sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap pemerintahan Orde Baru yang baik,seperti sikap kepemimpinan nasional yang tegas pada gerakan yang mengancam NKRI tidak dilanjutkan. Ketakutan atas kehilangan dukungan politis menjadi faktor terbesarnya.

Disisi lain kita bisa melihat bagaimana penyikapan rakyat juga menjadi tidak jelas. Atas nama demokrasi pula, banyak anasir-anasir yang oleh rakyat dibiarkan bergerak sebebas-bebasnya dengan prinsip "Gue sih asik-asik aja asal dia gak ganggu gue". Maka dari itu, bom sedahsyat apapun yang akan diledakkan di Indonesia oleh para teroris tidak akan membuat semua rakyat Indonesia bergerak menentang dan melawan teroris selama korban yang jatuh tidak satupun ada kaitannya dengan mereka secara pribadi. Rasa kebangsaan kita memang semakin "termakan habis" atas nama demokrasi. Kepedulian kitapun sebagai bangsa semakin juah menipis karena kita tidak bisa melihat itu pada kepemimpinan nasional.

Yang bisa kita saksikan hari ini dari bangsa ini adalah betapa Demokrasi belum memberikan kita harapan, melainkan ancaman karena pemimpin kita lebih banyak mengambil keuntungan pribadi dan kelompoknya dari demokrasi. Sementara rakyat memilih menumbuh suburkan ego individu dan kelompoknya dan menjadi tirani mayoritas lalu mengabaikan minoritas meski hidup dalam rumpun bangsa yang sama.

Komentar

Postingan Populer