Revolusi, Reformasi atau Kudeta militer?

Lorong gelap masih membentang di depan bangsa ini ketika ucap janji presiden dan wakil presiden menggema di Gedung MPR/DPR Senayan Jakarta 20 Oktober 2009. Bagaimana tidak, presiden yang dilantik adalah presiden lama yang menang secara mutlak dan selama lima tahun pemerintahannya (2004-2009) tidak berhasil mewujudkan sesuatu yang membuat rakyat menjadi sumringah. Bahkan untuk mewujudkan janjinya ketika kampanye saja tidak berhasil dilakukan. Saya membaca sebuah tulisan di sebuah media cetak nasional yang menggambarkan bagaimana nasib rakyat di daerah dimana SBY ditahun 2004 lalu mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden. Tidak ada perubahan dan mungkin semakin mengenaskan.

Saya tidak bisa mengerti bagaimana SBY bisa menang dan diangka yang sangat telak diatas 60 persen padahal banyak sekali yang patut dipertanyakan dari kepemimpinannya selama 5 tahun. Ambil contoh bagaimana rakyat yang dibelit masalah akibat lumpur meluap di Sidoarjo. Begitu susahnya hidup mereka, pemerintah tak sungguh-sungguh peduli. Hidup rakyat miskin juga tak menunjukkan perubahan berarti. Harga BBM dinaikan beberapa kali kemudian diturunkan lagi dan anehnya penurunan yang semata-mata karena pengaruh harga minyak dunia diklaim sebagai prestasi. Ini benar-benar diluar nalar dan penuh kebohongan publik. Rakyat begitu saja percaya dan menjatuhkan pilihan pada SBY. Saya tidak mengerti apakah ini karena semata-mata karena SBY memang menjadi pilihan terbaik diantara yang terburuk di pilpres 2009 ini. Kalau memang demikian, celakalah nasib bangsa ini karena akan dipimpin oleh presiden yang terpilih karena sudah tidak ada pilihan lain lagi yang lebih baik.

Lalu, ditengah kritikan dan masukan gencar seputar pemerintahan yang diharapkan lebih baik dibawah SBY-Boediono, ternyata penyusunan kabinet sangat kental dengan nuansa balas budi. Koalisi besar parpol ditempatkan diatas kepentingan rakyat. Nasib rakyat Indonesia dipertaruhkan dengan sikap SBY yang memilih menteri yang sarat dengan nuansa kepentingan koalisi parpol. Memang lima tahun kedepan masih menyimpan misteri yang bisa mengadirkan dua fakta. Pemerintahan ini akan lebih baik atau berjalan lebih buruk dari sebelumnya. Perhitungan dan analisa menyebutkan pemerintahan ini akan berjalan tidak lebih baik dibanding sebelumnnya karena soal pemilihan anggota kabinet yang tidak profesional.

Belum lagi masalah korupsi yang entah mengapa semakin sulit diberantas. Presiden tidak menunjukkan komitmennya yang serius mengurusi masalah satu ini. Alih-alih mengurusi pemerintah cenderung mementaskan drama-drama penuh kelucuan yang direpresentasikan dari ributnya Polri dan KPK. "Cicak Vs Buaya" adalah pernyataan yang sangat tidak elegan dari petinggi Polri yang anehnya justru dibiarkan saja oleh Presiden. Tak ada langkah apapun diberikan kepada sang pelontar kata-kata itu padahal apa yang diungkapkannya sangat meresahkan.

Sulit membayangkan dengan pasti apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Ketika kita seperti berada dilorong gelap saya berpikir tentang kemungkinan bangsa ini melakukan revolusi. Saya pun bertanya kepada seorang teman yang adalah pengamat politik dari sebuah Universitas besar di Semarang. Saya menjadi kecewa karena menurutnya sangat tidak mungkin terjadi revolusi di Indonesia. Revolusi mensyaratkan adanya kelas-kelas didalam masyarakat. Ada kaum proletar dan borjuis yang tegas. Nah di Indonesia hal ini yang tidak ada. Banyak kaum proletar yang lebih nyaman mengidentifikasikan dirinya sebagai borjuis dan banyak berjois yang berlindung dibalik kedok tokoh agama dan pejabat publik. Kultur Indonesia kemudian memberikan ruang dimana kaum borjuasi dihormati oleh proletar atas alasan-alasan yang tidak masuk akal. Jadi kecil kemungkinan terjadi revolusi di Indonesia.

bagaimana kalau reformasi seperti ditahun 1999 lalu? Pertanyaan ini saya lempar ke kawan tadi. Ia juga mengatakan masih sulit. Peristiwa di tahun 1999 lebih karena kecelakaan politik akibat Soeharto yang "mutung" atau ngambek plus sakit hati akibat ulah anak-anak emasnya semacam Harmoko. Ketika orang jawa sudah mutung maka dia tidak lagi peduli atas apapun termasuk kekuasaannya yang sudah demikian kuatnya. Terjadilah reformasi ditahun 1999.

Tidak revolusi tidak reformasi. Lalu apa yang bisa menjadi titik harapan. Tanya saya mengejar ke kawan tadi. "Kudeta Militer" jawabnya. Wah ini sebuah solusi yang sangat tidak saya harapkan, tetapi inilah konon yang paling mungkin bisa memperbaiki segala sesuatunya di Indonesia. Syaratnya pemimpin kudeta militer adalah seorang jenderal yang benar-benar ingin membawa bangsa ini kepada situasi yang lebih baik. Perbaikan di tata pemerintahan dilakukan begitu kudeta dilakukan. organisasi-organisasi negara ini dibersihkan dari orang-orang rusak dan dilakukan pembersihan kepada mereka yang dianggap penuh dengan korupsi. Lalu semuanya disiapkan termasuk calon pemimpin dari sipil. Konon di Spanyol dengan jenderal Franco nya pernah membuktikan hal ini. Pertanyaan mendasar, apakah mungkin militer di Indonesia akan melakukan kudeta dan apakah ada jenderal di militer Indonesia yang bisa menjadi penguasa sementara yang akan benar-benar memikirkan nasib rakyat? Ini misteri lain yang tidak bisa dipecahkan.

Namun masih ada harapan dimasa depan ketika kekuasaan SBY tak bisa lagi diperpanjang ditaun 2014 nanti. Akan muncul wajah-wajah baru sebagai pemimpin negeri yang mudah-mudahan itu adalah putra-putri terbaik Indonesia. Namun lagi-lagi ini masih misteri. Dengan sistem parpol yang acakadut penuh nepotisme dan suap menyuap tanpa ideologi yang kuat, maka elite yang akan muncul sebagai calon pemimpin kemungkinan adalah tokoh-tokoh sontoloyo.

Komentar

Postingan Populer