Ngotot dan Rela Turun “Kasta Politik”, Demi Kekuasaan atau Kesejahteraan Rakyat?

Gegap gempita pemilihan kepala daerah di Bali telah melahirkan dinamika politik yang sangat tinggi. Manuver dari partai politik (Parpol) terutama para elitenya terlihat sangat luar biasa. Bahkan banyak yang menabrak etika berpolitik yang mestinya didasari moralitas dan sikap kenegarawanan. Nampaknya nikmatnya kekuasaan memang benar-benar menyilaukan mata para elite parpol sehingga sampai-sampai menjadikan kekuasaan adalah hak waris yang bisa diturunkan kepada anak cucunya atau keluarganya.

Fenomena yang paling menarik adalah kuatnya hasrat menjadi pemimpin daerah yang juga menjalar kepada sosok atau pribadi-pribadi yang sesungguhnya memiliki “kasta politik” lebih tinggi ketimbang menjadi seorang bupati. Pribadi-pribadi ini telah pernah menjabat pada jabatan yang setara dengan pemimpin daerah yang lebih tinggi dari seorang Bupati. Prof I Wayan Wita dan Sudirtha, SH adalah dua sosok yang “kasta politiknya” sesungguhnya sudah pernah melampaui pejabat setingkat Bupati. Prof Wita adalah mantan Rektor Universitas Udayana yang eselonnya sama dengan Gubernur. Sementara Sudirtha, SH adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan berkaliber elite nasional. Bahkan keduanya telah pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali.

Namun entah dengan alasan yang pastinya apa, lalu kedua tokoh Maha Gotra Sanak Sapta Resi atau soroh Pasek-Klan terbesar di Bali- ini rela menurunkan “Kasta Politiknya” dengan menyasar jabatan Bupati. Adakah jabatan Bupati ini akan menjadi sasaran antara sebelum membidik posisi Gubernur atau memang murni karena keduanya ingin membangun daerah dan mensejahterakan rakyat, hanya mereka yang tahu pasti jawabannya.

Namun demikian dari konteks Demokrasi tentu tidak ada yang aneh dalam soal nafsu besar para elite untuk menjadi penguasa daerah. Meminjam istilah yang lazim digunakan para politisi di Senayan Jakarta, semuanya “sah-sah saja”. Seorang Bupati yang ngotot menjadikan anaknya sebagai pengganti posisinya karena sudah tidak mungkin lagi untuk dipilih atau pribadi yang rela “kasta politiknya” turun, dalam kacamata demokrasi adalah hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Demokrasi memberi ruang pada hal-hal tersebut untuk dimaklumi. Hanya saja persoalannya kemudian adalah perlunya dijawab pertanyaan berikut ; Adakah keinginan menjadi pemimpin, benar-benar dilandasi semangat yang tulus untuk wujudkan kesejahteraan rakyat?.

Kekuasaan yang ingin diwariskan kepada anak (kasus di Tabanan) bisa jadi hanyalah kekuasaan yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri dan kelompoknya. Karena toh dalam dua kali periode kepemimpinannya sang Ayah tidak menunjukkan kinerja terbaik bagi kesejahteraan rakyat Tabanan. Semnetara tokoh yang rela turun “kasta politik” juga pantas diragukan komitmennya dalam memperhatikan kesejahteraan rakyat, mengingat ada ketidaklaziman sikap politik yang ditunjukkannya.

Demokrasi memang memberi ruang untuk bersembunyinya kepentingan-kepentingan yang tidak selaras dengan kesejahteraan rakyat. Bisa saja semua calon pemimpin bersembunyi dibalik jargon-jargon bombastis yang dikemas dalam visi misi disetiap kampanyenya bahwa kesejahteraan rakyatlah yang ingin diwujudkan. Faktanya jargon-jargon tersebut lalu menerpa ruang kosong saat calon pemimpin benar-benar menjadi pemimpin. Rakyat jelas-jelas dikecewakan karena harapan mereka sangat jauh dari kenyataan. Hasil pemilihan langsung kepala daerah di Bali periode 2005-2006 lalu memberi kita bukti bahwa tidak banyak janji-janji bupati terpilih yang bisa diwujudkan. Kekecewaanpun merebak dimasyrakat dalam bentuk suara-suara ketidakpuasaan.

Ironisnya kemudian rakyat tidak bisa berbuat banyak. Kesalahan yang sama akan dilakukan, yakni memilih pemimpin yang kadar kebohongannya sesungguhnya telah teruji. Seakan-akan rakyat tidak memiliki banyak pilihan karena ikatan-ikatan jangka pendek seperti melalui bantuan-bantuan social pembangunan jalan dan Pura, bazzar di Banjar-banjar atau kunjungan-kunjungan menjelang pemilihan, menutup keburukan wajah si calon pemimpin. Benar adanya bahwa orang Indonesia itu memiliki ingatan yang sangat pendek sehingga lupa atas kesalahan dan dosa-dosa para pemimpinnya. Sistem politik yang disadera kepentingan eiite parpol menutup akses munculnya calon pemimpin berkualitas yang memang lahir dari tempaan kehidupan sosial rakyat yang akan dipimpinnya. Lalu tiket menjadi calon hanya dimiliki mereka yang memiliki uang cukup guna menyuap para elite pimpinan parpol ditingkat DPP.

Harapan bahwa demokrasi akan memiliki aras yang sejalan dengan kesejahteraan rakyat semakin pantas dipertanyakan. Justru demokrasi kemudian menjadi cikal bakal persoalan rakyat, karena pemimpin yang dihasilkan tidak menjadi solusi penderitaan rakyat melainkan menjadi bagian dari penderitaan rakyat itu sendiri akibat korupsi dan sikap yang hanya mementingkan kepentingan kelompoknya saja.

Komentar

Postingan Populer