Moralitas tidak menjadi Acuan Pemilih di Pilwakot Semarang

Pasangan nomer 5 Soemarmo-Hendi (MARHEN) memimpin perolehan suara sementara hasil penghitungan cepat KPU Kota Semarang. Selisihnya tidak banyak hanya sekitar 3% dibanding pasangan nomer 1 Mahfudz Ali-Anis Nugroho (MANIS). Hasil ini memang agak berbeda dibandingkan hasil sejumlah survey awal menjelang hari pencoblosan. Bahkan hasil survey dari LSI yang sempat diumumkan di Harian Suara Merdeka, pasangan MANIS mendapat dukungan lebih banyak dibanding MARHEN. Hanya saja hasil survey LSI juga memberi data penting bahwa jumlah massa mengambang/swing votter cukup tinggi sehingga keunggulan MANIS dalam survey tersebut disebutkan masih sangat rentan untuk disalip MARHEN.

Lebih jauh bisa disimak bahwa hasil ini sesungguhnya memberikan banyak gambaran tentang proses demokrasi di Kota Semarang, terutama menyangkut dasar acuan pemilih dalam menentukan pilihannya. Memang tidak pernah bisa dianalisa secara tepat dan akurat apa sesungguhnya pertimbangan terpenting bagi pemilih di kota Semarang dalam menentukan sosok pemimpinnya. Persoalan utama yang sering dianggap sebagai acuan utama penentuan pilihan (diluar money politics) adalah ukuran moralitas sosok yang maju sebagai calon. Moralitas dalam konteks ini tentu saja moralitas dalam pengertian bahwa calon adalah sosok yang menjunjung tinggi nilai-nilai norma dan etika. Disamping itu sosok tersebut haruslah bersih dari prilaku korupsi. Dalam logika idealisme sebuah demokrasi yang sehat, sosok yang bersih secara moral akan mendulang suara banyak pada saat pencoblosan.

Keunggulan Marhen dalam pencoblosan 18 April, mungkin bisa dikatakan melenceng dari idealisme demokrasi diatas. Soemarmo HS berdasarkan sejumlah isu dan materi black campaign (kampanye hitam) yang beredar dimasyarakat dituding pernah berselingkuh. Bahkan perbuatan selingkuh mantan Sekda tersebut sudah terekspose di media massa beberapa tahun lalu. Terlepas dari persoalan benar/tidaknya tudingan soal selingkuh tersebut, setidak-tidaknya sosok Soemarmo tidak dipungkiri telah memiliki cacat moral. Persoalannya mungkin adalah pada daya ingat masyarakat kota semarang yang tidak mampu menjangkau secara jernih perisitiwa-peristiwa yang terjadi beberapa tahun lalu.

Lalu pada soal persepsi atas tindakan korup dari seorang Semarmo. Ketika berbicara dengan salah seorang anggota DPRD Kota Semarang beberapa saat setelah pencoblosan, saya sempat menanyakan soal dugaan korupsi yang melibatkan Soemarmo terutam dalam pengadaan lift di Gedung Balai Kota. Isu ini memang mengemuka hanya beberapa hari sebelum masa pencoblosan dan tidak heran kalau kemudian banyak yang menuding dihembuskannya isu ini berkaitan dengan upaya mencitrakan Soemarmo yang juga korup. Anggota DPRD tersebut membenarkan bahwa Soemarmo patut diduga terlibat dalam tindakan korupsi pengadaan lift yang nilainya juga ada dikisaran lebih dari dua milyar rupiah karena yang bersangkutan adalah pelaksana anggaran pada saat itu. Hanya saja media di Semarang nampaknya tidak berhasil mengekspose pemeberitaan ini dalam kapasitas yang memadai sehingga tidak secara signifikan mengganggu citra Soemarmo.

Selain soal pengadaan lift, Soemarmo juga sempat disinggung terkait soal korupsi karena diduga terlibat dalam gratifikasi proyek pembangunan Ruko Peterongan Plaza senilai Rp 74 juta. Bahkan melalui media dengan jelas-jelas Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng, menempatkan Soemarmo sebagai salah satu dari 7 calon kepala daerah yang terlibat dugaan korupsi. Sukawi Sutarip selaku Walikota Semarang dengan jelas menyebutkan bahwa salah satu alasannya "memecat" Soemarmo dari jabatan Sekda pada tahun 2009 lalu adalah karena kasus gratifikasi proyek pembangunan ruko Peterongan Plaza tersebut.

Saat kemenangan Marhen semakin menjadi kenyataan, maka dengan mengabaikan sejumlah faktor lain yang mempengaruhi pilihan warga Semarang pada Pilwakot 2010, maka kita dihadapkan pada realita bahwa persoalan moral nampaknya tidak menjadi pertimbangan utama bagi para pemilih. Pentingnya moralitas seorang calon pemimpin hanya ada dalam pembicaraan-pembicaraan lisan warga. Bahwa ketika ditanya apakah Anda akan memilih pemimpin yang kurang bermoral, maka sebagian besar akan menjawab "tidak". Tetapi ketika berada di bilik suara dengan berbagai ragam pertimbangan yang ada dikepala para pemilih, nampaknya pertimbangan moral menempati urutan terakhir. Atau bisa saja karena banyak dari pemilih memilik daya ingat yang pendek alias mudah lupa, lalu latar belakang yang berkaitan dengan moralitas diabaikan.

Sekarang dan kedepan yang perlu menjadi perhatian bersama adalah bagaimana mengawal pemimpin terpilih agar berjalan pada aras yang lurus. Ketika pemenang sudah ada, maka persoalan moralitas harus kembali dikedepankan dengan sungguh-sungguh pada tataran prilaku dan perbuatan nyata. Jangan lagi pentingnya moralitas hanya ada di pembicaraan saja. Jika warga semarang tidak bisa mewujudkan azas moral sebagai hal yang utama dalam tingkat perbuatan melainkan hanya omongan saja, maka jelaslah bahwa warga semarang adalah manusia-manusia munafik. Lalu bisa saja pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang munafik, lain pembicaraan, lain pula pebuatannya.

Komentar

Postingan Populer