Kemenangan Eka-Jaya dan Taktik Politik "Pongah Juari"

Kemenangan pasangan Eka-Jaya di Tabanan memang tidak sepenuhnya menjadi sebuah kejutan. Namun realitas ini memberi gambaran kepada kita bahwa sesungguhnya demokrasi di Tabanan tidak menunjukkan kemajuan yang berarti bahkan mungkin mengalami kemunduran. Terutama dari cara-cara meraih kemenangan yang menggunakan taktik "pongah juari" serta mengabaikan moral dan etika. Sungguh sebuah kemenangan yang sangat tidak membanggakan.

Tidak bisa di sembunyikan lagi bahwa peran Bupati Tabanan Adi Wiryatama dalam merancang kemenangan Eka-Jaya sangatlah besar. Ayah dari Eka Wiryastuti inilah yang menjadi "master mind" alias dalang dari penghianatan demokrasi yang dilakukan dengan benar-benar muka tembok dan hati nurani yang sudah tertutup rapat. Sahywat kekuasaannya benar-benar telah membutakan dan membuatnya seakan-akan berfikir bahwa kursi Bupati Tabanan adalah kerajaan dimana ia bisa menurunkannya kepada anak cucunya. Padahal kekuasaan mensyaratkan adanya kepentingan rakyat diatas segala-galanya. Dan yang jauh lebih penting adalah, kekuasaan haruslah dibangun dari moralitas dan etika berdemokrasi yang beradab dan jauh dari kesan dilakukan dengan "pongah juari".

Pemaksaan Adi Wiryatama agar trah-nya-lah yang bisa kembali berkuasa di Tabanan dimulai ketika awal pemilihan Bakal Calon Bupati dari PDIP. Dalam rakercabsus PDIP, Adi Wiryatama memaksakan agar Eka meraih suara terbanyak. Namun demikian sikap DPP kemudian yang merekomendasikan Sukaja-Eka, dilawan dengan cara-cara yang benar-benar berani dan sama sekali diluar rasa hormat yang tulus kepada partai politik yang membesarkannya. Alhasil, Rekomendasi Sukaja-Eka pun dianulir dan keluar Rekomendasi jilid II yakni Eka-Jaya. Ini merupakan wujud nyata dari taktik dan strategi politik yang "pongah juari" alias tidak lagi punya rasa malu. Bahkan seorang politisi yang saya ketahui cukup lihai dan pandai berpolitik dengan mengabaikan rasa malu yakni Sukawi Sutarip, Walikota di Kota Semarang yang tak bisa lagi mencalonkan diri misalnya, tidak punya cukup keberanian untuk memaksakan agar anak atau istrinya bisa menjadi calon walikota. Bayangkan saja Sukawi Sutarip berhasil memanfaatkan banyak sekali partai politik, agar hasratnya menjadi Walikota dua periode terpenuhi. Mulai dari PDIP, PAN, PPP dan terakhir Jabatan sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Tengah di genggamnya. Padahal hasrat Sukawi untuk melanjutkan kekuasaan melalui trahnya di indikasikan cukup kuat dan kuasa sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Tengah pastilah cukup kuat untuk bisa mengajukan anak atau istrinya seabagi calon walikota. Sukawi, sepertinya masih punya rasa malu sehingga tidak cukup berani untuk mengajukan anggota keluarganya menjadi calon Walikota. Hebatnya rasa malu seorang Sukawi Sutarip ini sama sekali tidak dimiliki seorang Adi Wiryatama.

Lalu dengan kekuasaannya pula, Adi Wiryatama di indikasikan melakukan money politics agar jalan mulus memenangkan anaknya bisa diraih. Ironisnya money politics tersebut memanfaatkan dana-dana milik pemerintah yakni APBD. Sungguh ini merupakan praktik politik yang luar biasa mengabaikan persolan etika dan moralitas. Apalagi dana yang digelontorkan mencapai jumlah puluhan milyar rupiah dalam bentuk bansos. Ini mengabaikan sama sekali rambu-rambu yang pernah dikeluarkan pemerintah pusat yang melarang adanya penggunaan bansos untuk kepentingan kampanye. Ini cara-cara yang sungguh-sungguh menciderai praktik demokrasi yang sehat. Tampak sekali kalau Adi Wiryatama terlalu berani dan tidak mengindahkan soal berdemokrasi yang beretika dan beraszaskan kejujuran. Memang berbagai dalih telah disampaikan untuk membantah adanya penggunaan APBD dalam bentuk bansos dalam memenangkan pasangan Eka-Jaya.

Politik di Tabanan memang sejak lama menunjukkan gejala ketidaksehatan. Banyak realitas yang ditemui nyata-nyata sangat jauh dari berpolitik yang santun dan mengedepankan kejujuran. Sangat jelas bahwa politik itu sendiri memang kotor. Namun kotor dalam bahasa politik menunjuk pada prilaku yang masih dalam koridor kewajaran-kewajaran. Persoalannya, kotornya politik di Tabanan telah jauh melewati ambang batas kewajaran. Taktik pemenangan yang diambil adalah taktik yang sama sekali mengabaikan azas kejujuran dan tanggungjawab. Taktik yang menggunakan cara-cara tanpa rasa malu, melabrak dan menjunjung hasrat "pokoknya menang!!". Ini adalah praktik demokrasi yang hanya dilakukan oleh orang-orang barbar atau bahasa kerennya kelompok preman. Ataukah memang di Tabanan penguasanya adalah dari kaum preman??

Komentar

Postingan Populer