Sulitkah Mengatasi Kemacetan di Kota Denpasar?

Sama seperti kota lainnya di Indonesia, Denpasar berkembang nyaris tanpa kendali. Salah satu akibatnya adalah terjadinya kemacetan. Meski telah bisa diprediksi jauh-jauh hari, ternyata kemacetan sepertinya tidak secara sungguh-sungguh dicegah dan diatasi. Patut dipertanyakan tentang kinerja pemerintah daerah baik ditingkat propinsi maupun Kota Denpasar yang seolah-olah tiada daya mengatasi masalah kemacetan. Padahal jika sungguh-sungguh dan serius, kemacetan bukanlah soal super sulit untuk diatasi.


Kemacetan di Kota Denpasar adalah sesuatu yang telah diprediksi sejak lama. Penulis masih ingat ketika masih menjadi peliput berita di Harian Bali Post sekitar sembilan tahun yang lalu, saat dimana jalanan di Kota Denpasar belumlah semacet sekarang ini. Sebagai seorang wartawan baru, ketika itu penulis berkesempatan mewancarai Dr. Ketut Rahyuda, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Daerah Bali. Menurut Rahyuda, jalanan di kota Denpasar akan mengalami apa yang disebut dengan “hank”, istilah di dunia komputer untuk menunjukkan terjadinya kondisi tidak bisa bergerak (beroperasi) sebagaimana mestinya. Artinya kendaraan di jalanan kota Denpasar akan mengalami kemacetan total, sampai-sampai tak bisa bergerak. Rahyuda menambahkan, bahwa “hank” nya jalanan di kota Denpasar terjadi jika sistem transportasi massal tidak dengan segera diperbaiki.

Berita tentang pernyataan Rahyuda mengenai jalanan Kota Denpasar yang suatu saat akan mengalami kemacetan total (hank) menjadi topic hangat selama beberapa hari di Harian Bali Post. Banyak pihak yang kemudian menyatakan sikap sependapat dengan Rahyuda. Solusi pun kemudian coba diberikan beberapa pihak. Alternatif solusi mulai dari pengaturan jama kerja sampai pada pengadaan transportasi monorel juga dilontarkan.

Sesungguhnya, solusi mengatasi kemacetan, tidaklah sulit karena penyebabnya juga sesungguhnya sederhana. Tak terbantah kan bahwa kemacetan terjadi berakar pada persoalan pokok yakni volume kendaraan yang ada tidak sebanding dengan ruas jalan yang tersedia. Karena itu meskipun dibuat sistem pengaturan lalu lintas yang canggih dan pembangunan jalan baru jenis apapun apakah itu jalan layang, under pass, bay pass, tidak akan mampu mengatasi masalah kemacetan . Hanya satu yang bisa dilakukan dan jika dilakukan dengan serius dan sungguh-sungguh dipastikan akan berhasil mengatasi kemacetan dalam jangka panjang. Langkah tersebut adalah pembatasan jumlah kendaraan yang ada di jalanan.

Pembatasan kendaraan di jalanan bisa dilakukan dengan; Pertama, menetapkan kebijakan pajak kendaraan pribadi secara progresif. Jika perlu pengenaan pajak progresif dilakukan secara signifikan hingga mencapai 100 persen untuk kepemilikan kendaraan berikutnya. Kedua, menetapkan kebijakan yang mempersulit pembelian kendaraan pribadi. Selama ini, pembelian kendaraan terutama roda dua demikian mudahnya. Bayangkan saja dengan uang muka hanya Rp 500 ribu, motor sudah bisa dikendarai. Maka berjibunlah kendaraan di jalanan. Pemerintah harus berani menetapkan pajak yang tinggi dan melarang pembelian kendaraan dengan uang muka yang sangat rendah. Dengan kebijakan ini, pemerintah secara tidak langsung akan melindungi masyarakat dari praktik lintah darat tersembunyi, karena faktanya uang muka dan cicilan jika ditotal menjadikan harga kendaraan menjadi jauh lebih tinggi dari harga sesungguhnya. Secara bersamaan pemerintah akan melindungi generasi muda karena sampai saat ini telah banyak jatuh korban jiwa manusia di jalanan karena kecelakaan kendaraan roda dua.

Namun demikian, secara simultan pula pemerintah wajib menyediakan sarana transportasi massal yang benar-benar memenuhi lima prinsip utama yakni : aman, nyaman, murah, pasti dan menjangkau semua wilayah pemukiman. Transportasi umum harus dibuat menarik dan benar-benar bisa memenuhi kebutuhan serta melayani masyarakat. Tidak seperti sekarang ini dimana angkutan umum di Kota Denpasar amatlah mahal, tidak nyaman, tidak pasti dan tidak menjangkau semua wilayah pemukiman.

Kebijakan ini harus diakui tidaklah mudah dan ini jelas akan menjadi tugas besar pemerintah yang memerlukan kesungguhan. Tidak mungkin dilakukan oleh pemerintahan yang hanya bekerja dengan sistem bussines as usual, bekerja dengan cara-cara biasa-biasa saja. Sibuk hanya dengan acara seremonial dan menghadiri peresmian ini dan itu.

Tugas Utama

Dalam pemerintahan yang yang mengabdi pada kesejahteraan rakyat (welfare state), transportasi massal adalah salah satu tugas utama disamping penyediaan air bersih dan pendidikan yang layak. Transportasi ibarat aliran darah yang ada dalam tubuh manusia. Kalau sistem aliran darah itu tersumbat atau macet, maka sakitlah badan bahkan bisa saja mati manusia itu. Demikian pula sebaliknya, jika aliran darah lancer, maka sehatlah manusia itu. Sistem transportasi yang baik akan menjadi pemicu terutama pada sektor ekonomi. Bayangkan berapa liter BBM yang akan bisa dihemat karena kendaraan yang ada jumlahnya terbatas? Berapa banyak biaya perbaikan jalan yang bisa dihemat karena jalanan bisa menjadi lebih awet. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah seberapa besar polusi udara bisa ditekan?

Pemimpin daerah harus menjadi pengambil kebijakan strategis dan berani. Tidak tunduk pada kekuatan-kekuatan penguasa modal. Selama ini ada dugaan bahwa ketiadaan keberanian untuk mempersulit kepemilikan kendaraan karena lobi yang kuat dari pemilik dealer-dealer kendaraan. Jika pemerintah menetapkan kebijakan mempersulit kepemilikan kendaraan maka dipastikan diler-diler tersebut akan mati.

Yang membuat kita bersama-sama sangat sedih dan prihatin adalah hingga saat ini tiada upaya yang benar-benar serius dilakukan oleh pemerintahan dalam menanggulangi kemacetan. Pemerintah seakan-akan tidak berdaya dan ketidakberdayaan ini sangatlah tidak bisa diterima. Bukankah mereka selama ini telah dibiayai kehidupannya dari uang pajak rakyat?. Kalau para birokrat itu terutama yang harusnya memikirkan tentang masalah transportasi memang merasa tak berdaya, harusnya mereka malu untuk makan gaji dari uang rakyat. Persoalanya mungkin bukannya pemerintah tidak mampu, melainkan tidak mau.

Penulis, Wartawan, Tinggal di Semarang

Komentar

Postingan Populer