Film Abdullah v Takeshi Dan Kesadaran Identitas Agama
Di satu hari minggu yang santai, saya sempat menonton sebuah
film yang diputar salah satu stasiun TV swasta. Judulnya “Abdulah v Takeshi”,
Film komedi Indonesia yang diproduksi tahun 2016 dan dibintangi Kemal Palevi
(Takeshi), Dion Wiyoko (Abdullah) dan Nasya Marcella (Indah). Biasanya saya
agak ogah menonton film Indonesia. Tetapi
film komedi yang diproduksi MVP Pictures ini menarik perhatian saya karena
menurut pendapat saya film ini menegaskan kembali kesadaran soal identitas
keagamaan manusia.
Menceritakan 2 orang yang tertukar ketika dilahirkan.
Abdullah (Dion Wiyoko) dengan wajah orientalnya menjadi anak keluarga orang
Arab, sementara Takeshi (Kemal Pahlevi) dengan wajah arabnya menjadi anak
Keluarga Jepang. Meski kalau dinalar cerita filam ini agak kurang masuk akal
karena bagaimana mungkin Takeshi (Kemal Pahlevi) yang jelas bertubuh Arab tidak
menimbulkan kecurigaan dari Ibu dan ayahnya yang jelas-jelas orang jepang?
Begitu juga sebaliknya. Memang ada keraguan, tetapi hanya diceritakan sambil lewat
begitu saja.
Saya tidak membahas soal ke-tidakmasuk-akal-an 2 orang yang
secara fisik berbeda ini bisa diterima begitu saja dikeluarga yang berbeda
hingga keduanya menjadi mahasiswa. Abdullah yang berwajah oriental menjadi
sosok yang sangat arab, taat beragama dan jidatnya menghitam di dua titik
menunjukkan ketaatnya dalam melakukan sholat. Sementara Takeshi yang berwajah
Arab hidup dengan nyaman dalam budaya Jepang terlihat dari bahasa dan gaya
berpakaiannya.
Ketika seorang gadis cantik bernama Indah menjadi rebutan yang sengit antara Abdullah dan Takeshi,
barulah muncul kecurigaan kalau keduanya adalah anak yang tertukar. Indah-lah
yang mulai curiga dan mencari tahu kemungkinan bahwa mereka anak yang tertukar.
Kecurigaannya terbukti saat Ibu Takeshi menceritakan kalau anaknya lahir di
Jepang, begitu juga Ibu Abdullah yang menceritakan kalau anaknya lahir di
Jepang juga. Dan ternyata harinya sama, rumah sakitnyapun sama. Untuk meyakinkan
kecurigaan Indah, mereka bertiga (Abdulah, Takeshi dan Indah) berangkat ke
Jepang. Benarlah, bahwa mereka anak yang tertukar.
Ketika sudah dipastikan jika mereka anak yang tertukar,
kedua keluarga akhirnya sepakat mengembalikan Abdulah ke keluarga Jepang dan
Takeshi ke keluarga Arab. Adegan dalam film kemudian menunjukkan betapa
gamangnya hati Abdullah dan Takeshi saat masuk ke keluarga yang sama sekali
baru dengan budaya hidup yang berbeda. Abdulah yang sudah biasa hidup dengan
cara orang Arab harus berada dikeluarga yang hidup dengan budaya Jepang.
Takeshi yang biasa hidup dalam budaya Jepang harus hidup dalam cara hidup orang
Arab. Tidak hanya Takeshi dan Abdullah,
kedua orang tua masing-masing juga merasa janggal, meski sebenarnya mereka telah kembali memiliki anak-anak yang
sedarah dengan mereka. Nampak
ketidakbahagiaan dari Abdullah dan Takeshi begitu juga dengan keluarga mereka
masing-masing.
Akhir cerita menunjukkan bahwa Abdullah kembali ke orang tua
Arabnya dan Takeshi juga kembali ke Keluarga Jepangnya. Semuanya lalu hidup bahagia.
Film ini memberikan
jawaban atas pertanyaan, dimanakah perbedaan agama di dalam tubuh
manusia itu tertanam? Adakah perbedaan itu tertanam di dalam sel, gen atau
darah manusia? Sehingga manusia yang berbeda agama, akan memiliki susunan sel,
gen dan jenis darah yang berbeda?
Agama, tidak melekat
pada fisik biologis manusia. Agama tidak tercetak didalam sel, gen atau darah
manusia. Bahkan agama juga tidak melekat pada roh (jika roh itu memang ada).
Lalu dimanakah perbedaan agama itu tercetak atau terbentuk?
Agama itu nurture (bentukan) bukan natural (alami). Artinya,
agama itu adalah bentukan dari budaya manusia bukan ada karena hal alamiah dan
melekat didalam fisik manusia secara biologis. Manusia menjadi berbeda agama,
hanya karena mereka dibentuk dari budaya disekitar mereka dan yang paling dekat
adalah keluarga. Jika seorang anak lahir di keluarga ber-agama A, maka
kemungkinan besar anak itu akan ber-agama A. Inilah yang membentuk identitas
keagamaan seseorang
Identitas agama itu dibentuk oleh budaya, bukan melekat secara
fisik sejak manusia lahir. Bisa dikatakan bahwa manusia itu lahir tidak beragama.
Hanya setelah manusia melalui proses kehidupan didalam keluarga atau
lingkunganlah baru manusia mimiliki identitas agama.
Realitas ini jika dipahami akan membawa manusia untuk tidak
terjebak dalam fanatisme sempit agamanya masing-masing. Agama hanya identitas
yang dipakai manusia ketika masih hidup. Setelah mati, identitas agama itu
sangat mungkin tidak akan terbawa-bawa. Maka surga dan neraka (jika memang
benar ada) harusnya satu. Jadi tidak ada
surga untuk umat agama A, B atau C. Begitu juga dengan Tuhan, harusnya hanya
ada satu.
Tetapi tetap sangat terbuka kemungkinan, bahwa setelah
kematian sebenarnya tidak ada apa-apa. Semua kembali menjadi kosong. Karena hingga
hari ini tidak ada manusia yang sudah mati, kembali ke dunia lalu menceritakan
soal neraka, surga atau tuhan dengan membawa bukti-bukti fisik. Jika ini yang benar, maka berdebat apalagi berperang gara-gara agama hanyalah sebuah kesia-siaan.
Semarang, 9 Oktober 2017
Komentar