Kekerasan terhadap Wartawan dan Lemahnya UU Pers
Ada dua peristiwa yang cukup menyita perhatian saya terkait
dunia jurnalistik. Pertama soal pemukulan seorang wartawan televisi Kabupaten
Banyumas. Kedua soal pemanggilan Redaksi Kompas TV ke Polda Metro Jaya sebagai
saksi kasus pencemaran nama baik seorang penyidik di KPK. Menyita perhatian
karena menurut saya, dalam perkembangan era kemerdakaan pers yang sudah
beranjak cukup jauh pasca UU Pers No 40 Tahun 1999, ternyata masih saja
tindakan “kekerasan” terhadap pers
terjadi.
Di kabupaten Banyumas Jawa Tengah, seorang wartawan televisi
digebuk oleh anggota polisi dan Satpol PP yang “mengamuk” kepada sekelompok
massa yang melakukan demonstrasi memprotes pembangunan PLTPB. Peristiwa terjadi
Senin (9/10) malam, ketika upaya pembubaran aksi demonstrasi oleh polisi
mendapat perlawanan dari kelompok demonstran. Wartawan yang meliput peristiwa
tersebut, justru dihalang-halangi bahkan salah satu diantaranya dianiaya.
Aksi aparat dari Polres Banyumas dan Satpol PP inipun tak
pelak menimbulkan kecaman dari banyak pihak terutama kalangan jurnalis.
Perlakuan kasar terhadap pekerja media yang sedang melakukan tugas peliputan
peristiwa, jelas melanggar UU Pers pasal 4 ayat 3 yang menyatakan “Untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers mempunyai hak mencari, memperoleh dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi”. Siapapun yang menghambat hak yang
diberikan dalam pasal 4 ayat 3 ini akan dikenakan sanksi pidana seperti yang tertuang
dalam pasal 18 ayat 1 UU Pers. Ancaman hukumannya adalah maksimal2 tahun
penjara atau denda paling banyak Rp 500 Juta.
Pihak kepolisian yang menerima laporan kekerasan terhadap
wartawan telah menetapkan 4 oknum polisi dan 3 oknum satpol PP sebagai
tersangka. Namun jerat hukum yang dikenakan adalah pasal 170 KUHP, bukan
menggunakan UU Pers. Polisi beralasan bahwa pelaku melakukan tindakan
penganiayaan. Sementara pasal 4 (3) junto pasal 18 (1) UU Pers belum
dipergunakan.
Peristiwa di Banyumas tersebut membuktikan bahwa meski UU
Pers yang telah ditetapkan tahun 1999 atau 18 tahun silam, namun hingga kini
masih tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Bahkan aparat yang bekecimpung
dibidang hukum seperti kepolisian sekalipun masih banyak yang tidak mengetahui
isi UU Pers. Ketidamengertian terhadap
UU Pers ini dimungkinkan karena beberapa hal. Pertama, kurangnya pemahaman akan
arti penting kemerdekaan pers bagi kehidupan demokrasi. Masih banyak pihak yang
menganggap bahwa pers yang terlalu bebas justru adalah sumber kekisruhan.
Padahal tanpa adanya pers, ada banyak kebijakan-kebijakan publik yang bisa saja
berubah menjadi kerugian bagi masyarakat.
Kedua, implementasi UU Pers yang masih lemah. Dalam kasus
kekerasan terhadap jurnalis yang melaksanakan tugas misalnya meski sudah cukup
banyak terjadi, ternyata tidak banyak pelakunya yang divonis penjara. Bahkan
berdasarkan catatan yang ada, belum ada satupun pelaku penghalang-halangan
kerja jurnalis dilapangan yang benar-benar masuk penjara. Kasus kekerasanterhadap
wartawan di Rembang Jawa Tengah yang
masuk hingga pengadilan, memang pelaku pada 7 Agustus 2017 telah divonis
bersalah, namun hanya dihukum percobaan.
Lemahnya implementasi UU Pers juga dapat disimak dari kasus
pemanggilan Polda Metro Jaya terhadap Pimred Kompas Tv pada Rabu (11/10) terkait pelaporan Direktur Penyidik
KPK Aris Budiman terhadap peneliti ICW Donal
Fariz yang dilaporkan dengan dugaan pencemaran nama baik. Dugaan Pencemaran
nama baik yang dilakukan di dalam sebuah program acara berita di Kompas TV menyeret
pengelola redaksi menjadi saksi di kepolisian. Peristiwa ini menunjukkan bahwa
masih terjadinya ancaman kriminalisasi berdasarkan produk jurnalistik. Padahal
penanganan atas persoalan produk jurnalistik di sebuah media massa harusnya
diselesaikan menggunakan UU Pers. Artinya, jika terdapat isi berita yang dianggap kurang
sesuai atau merugikan, seharusnya tidak diselesaikan dengan pelaporan
menggunakan pasal-pasal dalam KUHP ke pihak kepolisian.
Mekanismenya sesuai dengan UU Pers, yakni pengaduan ke Dewan
Pers, dimana pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan menggunakan hak
jawabnya jika isi berita yang dipublikasikan dinilai tidak sesuai fakta atau
merugikan. Dengan demikian, kriminalisasi kepada jurnalis maupun nrasumber
dalam produk jurnalistik tidak terjadi. Pihak Dewan Pers dan Kepolisian telah
memiliki MOU tahun 2012, tentang Koordinasi dalam Penegakan Hukum dan
Perlindungan Kemerdekaan Pers. Isinya adalah kesepahaman, bahwa jika terdapat
permasalahan tentang isi berita yang membuat seseorang yang merasa dirugikan
melapor ke polisi, maka polisi akan meminta pendapat dari Dewan Pers terlebih
dahulu. Jadi polisi tidak langsung melakukan proses penyelidikan dan
penyidikan.
Keberadaan UU Pers harus diakui belum sepenuhnya diterima
oleh semua kalangan. Padahal sebagai UU yang sifatnya khusus (lex specialis), UU Pers seharusnya lebih
diutamakan sesuai dengan asas hukum “Lex Spescialis Derogat Lex Generalis”.
Jika UU Pers dapat dilaksanakan, maka peristiwa-peristiwa kekerasan dan kriminalisasi
terhadap wartawan maupun lembaga pers akan dapat diminimalisir. Perlu dipahami pula
bahwa pendekatan sengketa pers dengan kriminalisasi akan melemahkan kemerdekaan
pers. Jelas, demokrasi tanpa jaminan kemerdekaan pers adalah kebohongan.
Semarang, 12 Oktober 2017
Komentar