Menyoal “Saktinya” Awu-Awu di Terminal Ubung Denpasar
Sebuah berita mengenai Terminal Ubung Denpasar Bali menjadi
viral di media sosial. Isinya mengenai peringatan bagi siapapun yang datang ke
Bali untuk berlibur jangan sampai masuk Terminal Ubung karena akan mendapatkan
perlakuan tidak mengenakan dari sejumlah Awu-awu yang memaksa orang untuk naik
bus Antar Kota Antar Propinsi (AKAP). Sebenarnya ini bukan cerita baru. Sejak beberapa
belasan tahun silam soal prilaku awu-awu –sebutan mereka yang “ditugaskan”
mencari penumpang oleh pengelola Bus AKAP-- sudah sangat merebak dan meresahkan.
Awu-awu memang banyak yang kurang ajar, memaksa orang naik bus tertentu meski
sudah menolak baik dengan cara halus maupun secara kasar.
Sebenarnya berlarut-larutnya berita buruk soal Awu-Awu ini,
menjadi fenomena yang menunjukkan kalau mereka adalah orang-orang “sakti”.
Kenapa dikatakan “sakti”, karena di Terminal Ubung hampir dipastikan setiap
hari terdapat petugas dari dinas terkait dan juga aparat keamanan. Di tengah
Terminal ada kantor untuk petugas Dinas Perhubungan. Sementara diluar Terminal
Ubung ada Pos Polisi yang berada di bawah Polsek Kota Polrestabes Denpasar. Di Pos
Polisi ini selalu terdapat petugas kepolisian yang bertugas. Dengan keberadaan
petugas-petugas tersebut, seharusnya prilaku buruk Awu-awu dengan mudah
diketahui dan dengan mudah pula harusnya ditindak.
Ada sinisme yang berkembang di masyarakat sekitar soal
aparat polisi yang bertugas di Pos Polisi depan Terminal Ubung, yakni mereka
(oknum-oknum) polisi hanya senang menilang pelanggar yang kebetulan salah
memilih jalan keluar atau salah parkir di tempat yang ada tanda larangan parkir
atau berhenti. Sementara untuk prilaku buruk Awu-Awu, mereka memilih tutup
mata. Demikian pula dengan petugas dari dinas terkait yang bertugas di Terminal
Ubung.
Ada beberapa kemungkinan yang menjadi sumber “kesaktian”
para Awu-awu. Tetapi harus diakui, penjelasan soal sumber “kesaktian” mereka ni
baru didasari atas asumsi-asumsi. Pertama, telah ada kesepakatan tidak tertulis
antara oknum petugas di Terminal Ubung (baik polisi maupun dinas perhubungan)
dengan para Awu-awu. Isinya satu dengan lainnya tidak saling mengganggu alias
sama-sama tahu. Kemungkinan Kedua, adalah adanya ketakutan dari pihak aparat
terkait terhadap Awu-awu yang memiliki “becking” misalnya dari preman atau
ormas tertentu. Kalau secara posisi Awu-awu lebih kuat, tentu aparat keamanan
akan merasa takut dan memilih tidak peduli.
Melihat berlarut-larutnya perihal kelakuan Awu-awu, maka sangat
besar kemungkinannya kedua faktor tersebut menjadi penyebab. Jika dipikir
secara nalar, benar-benar menjadi hal yang sangat aneh bin ajaib, peristiwa
yang sebenarnya bisa dikatagorikan kriminal (pemaksaan) dan juga premanisme tersebut
bisa terjadi berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun tanpa dapat dihentikan. Padahal ada pos polisi dan ada petugas dari dinas terkait di Terminal
Ubung. Semua petugas itu digaji, dan memiliki kewenangan menegakkan aturan
melindungi masyarakat yang menggunakan jasa angkutan di Terminal Ubung.
Tetapi “saktinya” awu-awu di Terminal Ubung, dalam waktu tidak lama lagi akan menjadi
cerita belaka karena status Terminal Ubung yang segera di turunkan menjadi C
dari sebelumnya A. Artinya Bus AKAP, tidak lagi boleh beroperasi di Terminal
Ubung melainkan langsung ke Terminal Mengwi Badung. Penumpang yang ingin naik
Bus AKAP tidak perlu lagi ke Teminal Ubung. Tidak ada lagi awu-awu karena tidak
ada Bus AKAP. Tetapi, lagi-lagi tetapi, Itu
terjadi kalau perubahan status benar-benar membuat bus AKAP tak lagi mampir ke
Temrinal Ubung. Siapa tahu Bus AKAP dan Awu-awu nya tetap “sakti” sehingga
mereka tetap akan mampir ke Terminal Ubung dan membawa Awu-awunya untuk mencari
penumpang.
Komentar