Pribumi, Framing Berita dan Stigma Rasis
Dalam dunia media massa-- pasca meledaknya arus informasi di
dunia Media Sosial—banyak isu yang diangkat sebagai berita adalah apa yang
sedang booming/viral di media sosial. Seperti ada pola dimana topik berita yang
diangkat oleh media arus utama adalah apa yang sedang ramai diperbincangkan di
media sosial seperti twitter, facebook, instagram dan lain-lain. Apapun isu
yang sedang viral dan mendapatkan perhatian paling besar dari warga netizen,
maka media massa arus utama akan memilihnya menjadi berita utama. Selain itu,
media massa juga memilih membingkai (mem
-framing) isu tersebut berdasarkan
suara mayoritas netizen di media sosial.
Alasannya sederhana, media membutuhkan traffic yang tinggi agar menarik pengiklan.
Misalnya ketika media sosial diramaikan soal kata “pribumi”
dalam pidato pelantikan Anies-Sandi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Isu inipun
disambar oleh media arus utama terutama televisi dan internet dan mengangkatnya
menjadi topik berita utaman. Ketika suara netizen lebih banyak yang memberi
perspektif isu Pribumi kearah negative, maka media arus utama memframing isu
ini juga ke arah negatif pula. Celakanya karena media arus utama dengan medium
internet dan televisi tidak memiliki
ruang untuk mengupas isu secara mendalam akhirnya yang tersampaikan ke khalayak
adalah isu permukaannya saja.
Hasil framing negatif yang hanya sebatas permukaan saja soal
kata “pribumi” , seolah-olah mendapat pembenaran dengan disajikannya informasi
bahwa penggunaan kata “Pribumi” telah dilarang melalui Instruksi Presiden
(Inpres) No 26 tahun 1998. Inpres tersebut secara sepintas memang menyebutkan
pelarangan penggunaan kata pribumi oleh para pejabat. Namun jika dicermati,
yang dilarang dalam inpres tersebut adalah penggunaan kata Pribumi dalam kebijakan
atau peraturan-peraturan yang dikeluarkan otoritas kekuasaan. Secara
sederhananya, kata Pribumi berdasarkan inpres tersebut dilarang digunakan dalam
hukum positif kebijakan. Misalnya, kata “Pribumi” dilarang dipergunakan dalam
konsideran atau pasal-pasal didalam kebijakan dan peraturan-peraturan resmi. Jadi pelarangannya bukanlah sebagai kata yang
diucapkan oleh pejabat.
Sayangnya pemahaman yang beredar di publik adalah Anies
jelas telah melanggar ketentuan inpres sehingga dinilai tidak memahami aturan.
Terlebih lagi menyimak bahwa latar belakang dikeluarkan inpres di era Presiden
Habibie itu sebagai bagian dari mencegah adanya rasisme dan diskriminasi yang
merebak di era pra reformasi, sehingga Anies yang menggunakan kata “pribumi” dengan
cepat mendapat julukan gubernur rasis atau diskriminatif. Stigma gubernur rasis makin menguat, setelah
berita dari sejumlah media memuat tanggapan aktivis LSM yang dengan gamblang
menyebut Anies Gubernur Rasis.
Memang, stigma Anies rasis dan diskriminatif disematkan tidak
hanya karena kalimat didalam pidatonya. Ada banyak penanda lainnya yang
dikaitkan dengan posisi Anies, salah satunya munculnya spanduk besar saat
pelantikan yang berbunyi “Kabangkitan Pribumi Muslim” . Menguatnya stigma Anies
rasis dan dikriminatif juga tidak bisa dilepaskan pula dari realitas bahwa saat
pertarungan Pilkada DKI Jakarta dimana Ahok sebagai lawan Anies diserang
habis-habisan menggunakan isu SARA. Para pendukung Anies-Sandi berhasil
mengalahkan Ahok karena tidak segan-segan menghembuskan isu-isu SARA.
Maka, lengkaplah sudah persyaratan untuk Anies diberi stigma
sebagai pejabat yang rasis dan diskriminatif. Media sosial dipenuhi tanggapan
sinis, menohok, bahkan tidak sedikit yang membully habis-habisan Anies. Berita
di media massa yang memframing kata “pribumi” dalam kecenderungan negatif,
membuncahkan gelombang cacian dan kebencian.
Sayangnya, publik yang termakan “framing” berita media
massa, tidak banyak yang mencoba mencari dan mengetahui dengan utuh apakah
sesungguhnya isi dari pidato Anies saat usai dilantik presiden. Mengetahui
secara utuh isi pidato Anies ini menjadi penting untuk menjawab pertanyaan,
Apakah benar isi dari pidato Anies itu bisa dikatagorikan menyebarkan isu rasis
atau mengkampanye diskriminasi? Atau dapatkah isi pidato secara utuh itu cukup
menjadi penanda bahwa kebijakan Anies-Sandi dalam pemerintahannya 5 tahun
mendatang akan rasis dan diskriminatif?
Hanya saja mungkin sekarang banyak yang beranggapan sudah
tidak terlalu penting lagi untuk mengetahui apa isi pidato Anies itu secara
utuh atau mau sedikit bersabar untuk memantau apa saja kebijakan publik yang
akan dikeluarkan Anies di masa pemerintahannya. Untuk benar-benar menyematkan
Anies sebagai Gubernur Rasis harus melihat secara menyeluruh kebijakannya
disaat menjalankan pemerintahan. Jika memang nantinya ada kebijakan yang
mengandung indikasi rasis dan diskriminatif, maka barulah Anies layak disebut
gubernur rasis. Pejabat harusnya memang dinilai tidak saja ucapannya melainkan
yang paling penting tindakannya.
Pikiran publik sebagian besar telah dengan sukses diberikan
gambaran negatif dari kata “pribumi” dengan menjadikannya dasar stigma bahwa
Anies adalah sosok rasis dan diskriminatif. Ya…yang tertinggal saat ini adalah
netizen yang berdiri pada kelompok-kelompok dimana prasangka merajalela dan kebencian
dilawan kebencian . Dalam situasi seperti sekarang ini, adakah yang masih mau
berpikir bahwa prasangka dan kebencian itu sesungguhnya lebih banyak membunuh
akal sehat dan kejernihan pikiran? Kalaupun masih bisa berharap, mari kita
berdoa bersama-sama: “semoga Pikiran yang jernih segera datang dari segala
penjuru”
Semarang, 20 Oktober 2017
Komentar