Sepak Bola Indonesia, Minim Prestasi Sarat Kengerian
Menjadi pertanyaan klasik yang hingga kini tidak pernah
mendapatkan jawabannya yakni ; bagaimana mungkin sebuah negara dengan penduduk
lebih dari 250 juta jiwa, untuk membentuk 1 tim sepakbola yang berprestasi
selalu saja mengalami kegagalan? Tetapi itulah realitas sepak bola Indonesia
hingga hari ini. Alih-alih menunjukkan prestasi, sepak bola Indonesia justru
menampilkan wajahnya yang sangat buruk sekaligus mengerikan; minim prestasi, wasit yang tidak berkualitas, isu suap dalam kompetisi liga, pengeloaan liga
yang tidak professional, hingga kekerasan antar supporter yang berujung
kematian.
Kabar terbaru, Choirul Huda, Kiper Persela Lamongan berusia
38 tahun meninggal dunia setelah dalam pertandingan Liga 1 Minggu (15/10)
mengalami benturan dengan sesama pemain. Nyawanya tak bisa diselamatkan akibat
mengalami gagal nafas. Meninggalnya kiper senior tim Persela Lamongan ini
menambah catatan mengerikan dan kelamnya dunia sepak bola Indonesia. Tawuran
antar supporter dan tindak kekerasan antar pemain serta perlakukan kasar
terhadap wasit menjadi warna buram lainnya dari sepakbola Indonesia. Catatan kelam
lainnya yang paling memprihatinkan adalah tewasnya 11 orang supporter sepak
boal Indonesia dalam putaran liga 1 dan liga 2 di Indonesia. Padahal putaran
liga Indonesia tahun 2017 ini belum juga berakhir. SaveOurSoccer, sebuah
lembaga yang peduli sepak bola Indonesia mencatat sejak 1995, ada 58 suporter
Indonesia yang meregang nyawa.
Kerusuahan antar supporter memang menjadi momok paling
mengerikan dalam dunia sepak bola di Indonesia. Kebencian antar supporter klub
sepak bola bahkan tidak sedikit yang telah mendarah daging diwariskan dari supporter
terdahulu kepada generasi berikutnya. Gesekan antara supporter seringkali
berakhir dengan tawuran massal. Nyawapun menjadi taruhannya. Persita
Tanggerang, klub sepakbola yang berlaga di Liga 2, sejak liga diputar telah
kehilangan 3 orang suporternya. Ada yang tewas ditusuk, ada pula karena
ditabrak kendaraan saat menghindari kejaran supporter tim lainnya. Kejadian
terakhir, seorang supporter Persita tewas setelah dikeroyok supporter PSMS
Medan.
Kengerian lainnya dari dunia sepakbola Indonesia adalah
kenekatan para pemain dalam menyikapi keputusan wasit di lapangan. Tidak
sedikit wasit yang mengalami perlakuan kekerasan dipukul ataupun ditendang
pemain yang bergaya bak petarung kungfu.
Beruntung belum pernah ada wasit yang jadi korban meninggal dunia gara-gara pemain sepak bolanya yang berubah menjadi petarung kungfu.
Dunia sepak bola Indonesia seolah-olah mengalami kutukan
yang hingga kini tak jua menunjukkan akan segera berakhir. Tim nasional yang
sangat minim prestasi adalah yang paling mudah untuk dipergunakan sebagai
indikator. Untuk berprestasi di tingkat Asia Tenggara saja, tim nas Indonesia
tidak menunjukkan kemampuannya. Prestasi terbaik hanyalah menjadi langganan
runner up piala AFF, ajang sepak bola timnas se Asia Tenggara yang tertinggi. Timnas
Indonesia tak pernah sekalipun menjadi juara, kalah dengan Thailand yang juara 5
kali dan Singapura 4 kali. Sementara untuk tingkat multi event yakni SEA Games,
timnas sepak bola Indonesia meraih juara terkahir pada tahun 1991, 26 tahun silam. Ini
berarti telah berlalu satu generasi pemain sepakbola di negeri ini ternyata tetap saja gagal total
menjadi yang terbaik di ajang SEA Games.
Jelas ada yang salah pada dunia sepak bola Indonesia.
Ironisnya tidak ada satupun pihak yang hingga kini mampu memperbaikinya.
Pengurus PSSI telah beberapa kali diganti. Sistem dan pengelola Liga pun juga
tidak ketinggalan telah dirubah. Tak kurang, presiden sampai turun tangan
membekukan PSSI dengan harapan ada perbaikan. Tetapi masalah tak jua menunjukan
jalannya untuk dituntaskan.
Sepak bola yang harusnya menjadi ajang dimana rakyat
mendapatkan hiburan dan nama bangsa bisa dibawa kekancah dunia dengan keharuman,
justru menjadi ajang dimana kengerian dan horror dipertunjukkan. Jangan-jangan sepak bola Indonesia telah benar-benar terkutuk???
Semarang, 16 Oktober 2017
Komentar