Indeks Demokrasi Indonesia Turun, Tanda Rezim Jokowi-JK Otoriter?
Indeks Demokrasi Indonesia mengalami penurunan dan
pemerintahan dituding Otoriter. Demikian salah satu kesimpulan evaluasi kinerja
pemerintahan Jokowi-JK selama 3 tahun yang disampaikan Fadli Zon, Wakil Ketua
DPR RI. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Fadli Zon mengatakan Indeks
Demokrasi Indonesia tahun 2016 berada di angka 70,09 dari 100. Angka ini menurun dibandingkan
IDI 2015 yang berada di angka 72,84 dan IDI 2014 sebesar 73,04.
Beberapa faktor diungkap sebagai penyebab, salah satunya
soal ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)
tentang Organisasi Massa (Ormas). Penegakan hukum bagi pelaku ujaran kebencian
di media sosial adalah faktor lain yang menunjukkan ada kecendrungan rezim
Jokowi-JK otoriter. Penegakan hukum
tersebut menurut Fadli Zon menunjukkan ketidakadilan, karena yang diproses
hukum hanyalah yang menyinggung yang berkuasa saja.
Argumentasi Fadli Zon soal Perppu Ormas menjadi penyebab penurunan
Indeks Demokrasi Indonesia memang cukup
relevan mengingat keberadaan Perppu Ormas rentan dipergunakan sebagai instrument
pembungkaman bagi kelompok-kelompok yang menentang kekuasaan. Apalagi jika
belajar dari pengalaman sejarah dimana kekuasaan dengan mudahnya berlindung
dibalik peraturan, untuk memberangus mereka yang kritis. Demikian pula dengan
memproses hukum warga negara karena persoalan tindakan komunikasi yang
dilakukannya. Penguasa bisa saja beralasan bahwa tindakan komunikatif yang
dilakukan mereka yang kritis terhadap kekuasaan sangatlah membahayakan dan
pantas di hukum.
Jika mengacu pada data dan argumentasi Fadli Zon nampak ada
yang salah. Fadli Zon menggunakan data Indeks Demokrasi dari BPS untuk tahun
2016 yang berarti yang diukur tentu saja adalah data-data pada tahun 2016.
Sementara terkait Perppu Ormas dan penegakan hukum terhadap pelaku ujaran
kebencian baru terjadi ditahun 2017.
Terlepas dari ketidaktepatan argumentasinya tersebut, Fadli
Zon nampaknya lupa bahwa ancaman demokrasi bukan hanya datang dari penguasa.
Terlebih lagi pada era demokrasi, dimana justru kekuasaan tidak lagi hanya
dominan berada dalam struktur birokrasi pemerintahan melainkan juga dari
kelompok-kelompok masyarakat. Artinya, tindakan-tindakan kelompok-kelompok
masyarakat tertentu yang memaksakan kehendakan kepada kelompok lainnya adalah
penyebab mundurnya demokrasi. Di
Indonesia, tindakan kelompok-kelompok sipil non pemerintah bahkan dapat
melebihi kewenangan aparat.
Ambil saja contoh dalam hal kebebasan beragama sebagai salah
satu bentuk hak asasi manusia yang harusnya dijunjung tinggi. Intensitas
tindakan kekerasan baik secara fisik maupun tekanan moral dalam hal perbedaan
agama sangatlah massif terjadi di Indonesia. Kelompok-kelompok yang menggunakan
label agama, dapat dengan mudahnya melakukan kekerasan kepada kelompok yang
berbeda. Yang paling mudah dipakai sebagai contoh kasus tentu saja penistaan
agama yang dikenakan pada Ahok ketika kontestasi Pilkada DKI. Peristiwa pada
paruh akhir 2016 ini menyita perhatian public tidak hanya di Indonesia tetapi
juga hingga luar negeri dan menjadi
penanda besar mundurnya Demokrasi di Indonesia karena Ahok harus dipenjara
karena tindakan komunikasi yang dilakukannya. Hal ini sesuai dengan data yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai tingkat demokrasi DKI
Jakarta pada tahun 2016 menjadi provinsi yang menurun paling
drastis tingkat demokrasinya, yaitu mencapai 14,47 poin.
Jauh sebelum kasus Ahok, masyarakat juga sudah diakrabi dengan
tindakan-tindakan pembatasan dalam hal kebebasan berkumpul, berserikat dan berpendapat.
Cerita tentang diserbunya forum-forum diskusi yang mengangkat tema-tema sensitive
seperti komunisme atau mengenai kesetaraan gender oleh kelompok-kelompok
berlabel agama sangat sering terdengar. Padahal kebebasan berpendapat,
berkumpul dan berdiskusi juga menjadi salah satu indikator indeks Demokrasi. Berdasarkan
data dari BPS, tercatat pada tahun 2016 variabel kebebasan berkumpul dan
berserikat menurun 3,86 dari 86,65 menjadi 82,79.
Aliran komunikasi di public terutama mengenai isu-isu yang
diangkat dapat menjadi indikator tingkat demokrasi di masyarakat Indonesia.
Beberapa tahun belakangan--terutama pasca Pilpres 2014 yang telah membentuk
polarisasi kelompok antara yang mendukung Jokowi JK dan yang menentangnya
karena masih kecewa dengan kekalahan Prabowo-- isu-isu yang didiskusikan publik
sangat jauh dari roh demokrasi. Di Media sosial, publik sangat intens terlibat
dalam isu-isu perbedaan pandangan agama. Justifikasi-justifikasi yang dilakukan
memposisikan kelompok-kelompok yang berbeda sebagai lawan yang harus
ditundukkan. Alih-alih menerima perbedaan atas dasar jiwa yang demokratis, publik
makin mempertajam perbedaa-perbedaan.
Maka, jika indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan
faktor menguatnya tekanan yang datang dari kelompok-kelompok masyarakat yang
merasa dirinya mayoritas dan karenanya merasa bisa bertindak diatas hukum,
itulah sebenarnya menjadi penyebab. Dan ini terjadi ketika penguasa memberi
kebebasan yang lebih luas kepada masyarakat sipil. Era Jokowi-JK, Otoritarianisme
cenderung berada di tingkat massa bukan di kekuasaan.
Fadli Zon semestinya bisa lebih fair dalam beragumentasi
soal penurunan indeks demokrasi dengan menggunakan pandangan yang lebih
komprehensif. Terlebih lagi kini adalah era yang benar-benar jauh lebih
demokratis dengan adanya keterbukaan informasi dan menguatnya peran masyarakat
sipil. Sayangnya kekuatan masyarakat sipil justru datang dari mereka yang memiliki
basis berdasarkan agama tertentu.
Semarang, 24 Oktober 2017
Komentar