Dibalik Gonjang-Ganjing Migrasi Siaran TV Analog ke Digital, Ini Soal Bisnis Bung!!!
Gonjang-ganjing migrasi penyiaran dari analog ke digital
terus berlangsung. Persoalan yang paling krusial dan mengundang perdebatan
adalah sistem penyiaran digital apakah yang akan dipergunakan. Sistem penyiaran
yang dimaksud disini adalah siapa yang akan menjadi penyedia/operator pemancar
siaran digital. Ada 3 alternatif pilihan yakni single, multi dan hybrid. Sistem
operator single artinya pelaksananya adalah hanya satu-satunya yakni dalam hal
ini pemerintah melalui TVRI yang nantinya akan menjadi RTRI (Radio dan Televisi
Republik Indonesia).Sistem multi berarti penyelenggara adalah masing-masing
lembaga penyiaran yang sudah memiliki ijin frekuensi. Sementara Hybrid
merupakan sistem dimana hanya ada beberapa saja lembaga penyiaran yang ditunjuk
menjadi penyedia pemancaran siaran digital dan salah satunya adalah RTRI.
Dalam diskusi Publik yang digelar oleh Ilmu Komunikasi
Undip, Rabu 15 November 2017 di kampus Undip Tembalang, membahas topic “Mengawal
Pengelolaan Penyiaran Digital dalam RUU Penyiaran” perdebatan soal sistem
penyiaran digital mengemuka tajam. Jika dipetakan, dari tujuh narasumber
pembicara hampir sebagian besar memilih sistem Single mux. Meski demikian tidak
berarti bahwa kekuatan pendukung single mux adalah yang paling benar karena
tidak merepresentasikan pemain-pemain kunci pengambil keputusan terkait RUU
Penyiaran.
Argumentasi dari masing-masing pihak sangat didasarkan pada kepentingannya. Sikap yang paling menonjol datang dari Neil R Tobing Sekjend ATVSI yang dengan terang mengemukakan kepentingan bisnis mereka yang harus diberikan keadilan. Karena itulah dengan tegas ATVSI menolak sistem single Mux yang menurut mereka akan mematikan investasi trilyunan rupiah yang sudah ditanamkan melalui pembangunan infrastruktur pemancar di berbagai wilayah. Pengangguran akan terjadi karena banyak tenaga di bagian pemancar akan di PHK. Ada alasan lain yakni bahwa industri penyiaran televisi menjadi satu-satunya bisnis komunikasi yang masih dikuasai orang Indonesia. Sementara bisnis komunikasi semisal penyelenggara telekomunikasi seperti XL, Indosat sudah dikuasai asing. Tidak jelas maksud argumentasi ini karena kalau penyelenggara siaran digital adalah single mux, bukankah tidak berarti bisnis penyiaran televisi akan dikuasai asing.
Asas Perlindungan kepentingan bisnis penguasaha-pengusaha stasiun
televisi besar ini juga datang dari Firman Subagyo dari Baleg DPR RI. Bahwa
sistem penyiaran digital yang akan ditetapkan dalam UU Penyiaran yang baru
tidak boleh mematikan bisnis yang sudah ada. Penggunaan sistem single mux
dipastikan akan membuat investasi perusahaan-perusahaan stasiun televise besar
akan mubazir dan ini berarti kebijakan yang merugikan. Selain itu jika single
mux yang akan dipilih, maka akan ada kewajiban negara memberikan kompensasi
kepada penguasaha-pengusaha yang sudah menginvestasikan uang mereka pada
infrastruktur penyiaran karena frekuensi diambil alih oleh negara. Ada
kecendrungan yang sangat kuat kalau pihak Baleg DPR RI akan mengarahkan sistem
penyiaran digital ke sistem Hybrid.
Sementara itu bagi pendukung single mux, fenomena yang saat ini terjadi pada dunia penyiaran
dimana ada monopoli dari sejumlah pengusaha pada bisnis penyiaran akan terus
berlangsung jika mereka (perusahaan penyiaran televise nasional) kembali
diberikan kewenangan sebagai pelaksana sistem penyiaran digital. Tentu akan
menjadi sangat tidak adil jika yang menjadi wasit adalah mereka yang ikut
bertanding, demikian Heychael dari Remotivi menganalogikan jika stasiun televise
juga ikut menjadi penyelenggara sistem penyiaran digital. Bisnis penyiaran televisi
adalah persaingan antara penyedia siaran dan jika ada dari salah satu yang
bersaing tersebut menguasai infrastruktur penyiaran tentu saja akan menjadi
tidak adil. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Nina Armando dari KNRP.
Bermainnya kepentingan pengusaha televise besar sangatlah kentara dalam
pembahasan UU Penyiaran yang baru. Seharusnya dengan sistem penyiaran siaran digital
single mux, monopoli dari perusahaan-perusahaan stasiun televisi nasional akan
hilang.
Perdebatan bisa jadi akan menjadi sangat panjang dan tidak akan
didapatkan titik temu karena keduanya memiliki titik pandang berbeda.
Kepentingannya adalah sangat berbeda. Yang menolak sistem single mux tentu saja
mengalami ketakutan luar biasa soal masa depan bisnisnya. Jadi persoalannya
adalah jelas semata-mata soal bisnis. Sementara yang memilih sistem single mux memiliki
keyakinan bahwa dengan sistem single mux akan memungkinkan terbukanya peluang
lebih besar bagi penyiaran yang lebih demokratis. Dengan kata lain, jika sistem
penyiaran digital single mux yang dipergunakan, sikap dari penguasaha televise nasional
yang telah menggunakan frekuensi secara sewenang-wenang seperti yang terjadi
selama ini dapat ditekan.
Nampaknya sistem penyiaran digital akan masih menempuh jalan
panjang dan berliku. Kekuatan besar para pengusaha besar televisi swasta
nasional tidak akan mungkin mau menyerah dan menerima sistem single mux. Target
pasti mereka adalah sistem penyiaran multi mux atau Hybrid. Kalau DPR RI nanti
menetapkan UU Penyiaran yang baru menggunakan sistem penyiaran digital single
mux, pasti akan ada perlawanan hebat dari pengusaha televisi nasional.
Umumnya yang terjadi adalah kemungkinan besar para pengusaha
akan dengan mudah menguasai penguasa. Kehendak para pengusaha akan lebih
diperhatikan dengan argumentasi kepentingan bisnis tidak boleh dimatikan.
Apalagi saat ini pemerintahan Jokowi memang sedang berparadigma sangat pro
pengusaha sehingga harus dilindungi karena adalah penggerak ekonomi bangsa.
Belum lagi jika dikaitkan dengan politik, penguasa mana yang akan berani
melawan pengusaha yang menguasai saluran informasi publik terutama televisi.Penguasaa yang berani melawan pengusaha stasiun televise
nasional, siap-siaplah menerima akibatnya karena ancaman kelangsungan bisnis
adalah sama dengan ancaman kematian. Jadi kalau ada yang bertanya, ada soal apakah dibalik gonjang-ganjingnya migrasi siaran tv analog ke digital, jawabannya : Ini
Soal Bisnis Bung!!!
Komentar