Ketika Orang yang (Harusnya) Terhormat Jadi Bahan Tertawaan
Orang yang normal, pastilah menghindari perbuatan yang bisa
membuat malu diri sendiri dihadapan orang banyak. Perbuatan yang memalukan akan
membuat kita diterwakan orang banyak. Ada idiom di masyarakat Bali untuk
mengingatkan kita supaya tidak melakukan perbuatan yang memalukan, yakni “de
kanti dadi kekedekan gumi” (jangan sampai menjadi bahan tertawaan dunia). Tentu
saja perbuatan yang dinilai masyarakat sebagai perbuatan yang tercela dan
diketahui oleh masyarakat secara luas pasti akan membuat malu. Tidak hanya diri
sendiri melainkan juga akan membuat malu seluruh keluarga (anak, istri, orang
tua dan anggota keluarga lainnya), bahkan warga kampung dimana orang tersebut
berasal. Maka biasanya orang Bali akan mengingatkan anak, saudara atau teman
agar menghindari perbuatan buruk yang memalukan dengan mengatakan “De nyemak
gegae keketo pang sing dadi kekedekan gumi” (jangan melakukan perbuatan itu
supaya tidak menjadi bahan tertawaan dunia)
Tetapi nasehat jangan membiarkan diri menjadi tertawaan
dunia mungkin tidak dipikirkan oleh Setya Novanto (SN) yang patut diduga untuk
menghindari dirinya ditangkap oleh KPK, “mementaskan drama” kecelakaan menabrak
tiang listrik. Tidak bisa dipastikan apakah kecelakaan tersebut adalah
benar-benar kecelakaan ataukah sebuah rekayasa, tetapi opini publik sudah
terlanjur mencapnya sebagai rekayasa. Hal ini tidak lepas dari perbuatannya
yang sering menunjukkan sikap menghindar ketika hendak diproses hukum oleh KPK.
Misalnya tiba-tiba SN sakit saat akan diperiksa, lalu tiba-tiba sehat saat
gugatan pra peradilannya dikabulkan pengadilan. Saat hendak ditahan KPKdengan
mendatangi kediamannya, SN memilih “menghilang”. Sangat jelas niat dari SN
adalah untuk menghindari KPK.
Maka, ketika kecelakaan itu terjadi, tidak banyak yang
mempercayai bahwa itu benar-benar kecelakaan. Alih-alih bersimpati mendoakan
kesembuhan SN, publik justru lebih banyak yang “menertawakan” dan membuat sindiran-sindirian. Publik justru
banyak yang bersimpati kepada tiang listrik yang diitabrak mobil yang
ditumpangi SN. Tubuh SN yang terbaring lemah dengan diinfus, tersebar dan
mengundang beragam komentar yang arahnya lebih banyak menertawakan. Tidak
berlebihan jika SN, dalam istilah orang Bali sudah menjadi “kekedekan gumi”
(tertawaan banyak orang).
Dengan menjadi ketua umum partai politik yang besar dan
sekaligus juga menjadi ketua DPR RI, tentu SN bukanlah orang sembarangan. Ia adalah orang
terhormat dan akan sangatlah jatuh harga dirinya ketika masyarakat bukannya
menyampaikan keprihatinan melainkan ramai-ramai menjadikannya sebagai bahan
tertawaan.
Cerita terus berlanjut ketika KPK akhirnya menahan SN di
rutan KPK. Sepertinya “skenario” menghindari penahanan dengan alasan mengalami
kecelakaan tidak dapat berjalan dengan baik. Tekanan public yang cukup kuat
menjadikan KPK bersikap dengan tegas terhadap SN dan mengabaikan kicauan
pengacaranya yang mencoba terus melindungi kliennya.
Publik tentu saja tidak banyak yang benar-benar mengetahui
pasti kondisi sesungguhnya dari SN, apakah ia benar dalam keadaan sakit akibat
kecelakaan menabrak tiang listrik atau sehat-sehat saja. Hanya saja perlu
disadari bahwa SN barulah pada status tersangka kasus korupsi. Perjalanannya
pembuktian bahwa SN adalah benar-benar melakukan korupsi harus melalui
persidangan. Menganut pada asas praduga tak bersalah, maka sangat mungkin SN
bukanlah seorang korupstor. Namun demikian, semoga saja dalam perjalanan proses
hukumnya tidak ada lagi drama-drama kontroversial yang tersaji, yang
memunculkan kelucuan-kelucuan yang akan semakin menjadikan SN sebagai tertawaan dunia (“kekedekan gumi”).
Sudah banyak pejabat tinggi dan ketua umum partai politik di
Indonesia yang menjadi tersangka dan terpidana kasus korupsi. Tetapi SN adalah
satu-satunya yang menjadi bahan tertawaan sebagian besar masyarakat. Sangat
sedikit yang bersedia membelanya dihadapan publik, kecuali pengacara dan
kawan-kawannya sesama pimpinan DPR RI.
Semarang, 21 November 2017
Komentar