Liga Indonesia dan Pertunjukkan Ketoprak
Keputusan Pengelola Kompetisi Sepak Bola Liga 1 Indonesia
tidak berhenti melahirkan kontroversi. Terakhir publik sepak bola diriuhkan
dengan putusan memenangkan Bhayangkara FC atas Mitra Kukar dengan kemenangan
WO. Impilkasi keputusan ini tentu sangat merugikan Bali United FC yang kehilangan
peluangnya menjadi juara. Padahal, perjalanan yang dilalui Bali United dan
kluba lainnya sudah sangat “berdarah-darah”, bertarung habis-habisan dengan
menjunjung tinggi sportivitas.
Bicara soal riuhnya kompetisi liga 1 sepak bola Indonesia,
saya jadi teringat dengan perbicangan saya dengan mantan ketua PSIS, Bapak
Ismangoen Notosapoetro (almarhum). Beliau menganalogikan sepak bola itu sama dengan kesenian ketoprak. Maksud pernyataan Pak
Ismangoen tersebuat bahwa pertandingan
sepak bola dan ketoprak sama-sama pertunjukkan hiburan. Para pemain yang
bertanding adalah pemeran yang menampilkan adegan-adegan menarik dimana para
penonton akan merasa terhibur. Rasa terhibur lahir dari drama-drama yang
menampilkan ketegangan, kelucuan, kejengkelan, kegembiraan dan juga kesedihan.
Para penonton merasa terhibur karena emosinya diaduk-aduk.
Kemenangan klub sepak bola yang digemari akan menjadi
kesenangan yang luar biasa. Sementara kekalahan akan mengakibatkan kesedihan,
kekesalan bahkan kemaran. Dengan demikian, seluruh pertandingan yang digelar memiliki
daya tarik sehingga para penggemar akan rela mengorbankan uang dan waktu untuk
bisa menyaksikan pertandingan. Pengorbanan tertinggi tentu saja adalah
kesediaan para supporter sepak bola untuk membela mati-matian klub kesayangannya
sampai nyawapun di pertaruhkan. Akal
sehat lenyap, ketika rasa cinta kepada klub sepak bolanya menguasai mendekati
kondisi emosi kegilaan.
Kegilaan kepada sepak bola melahirkan realitas yang tidak
saja mengenai kalah menangnya sebuah klub dalam kompetis tetapi juga bisnis. Klub
sepak bola bukan lagi hanya kumpulan pemain dan pengurus yang tujuannya menyalurkan
hobi berolah raga sepak bola dan berprestasi dengan menjadi juara dalam sebuah
kompetisi melainkan telah menjadi sebuah perusahaan yang mengejar keuntungan. Penggemar dan pecinta sepak bola adalah
konsumen dimana keuntungan dikeruk baik dengan menjual kepada mereka tiket
pertandingan dan merchandise atau menjadikan jumlah penggemar ini sebagai “barang
dagangan” yang dapat dijual ke sponsor.
Para pemilik, pengelola dan pemain klub sepak bola menerima keuntungan
material yang tidak bisa dikatakan sedikit. Dengan melabeli klub dan pemain
sepak bola dengan kata professional, itu berarti membenarkan klub mendapatkan
keuntungan dan pemain harus dibayar mahal untuk bisa menghadirkan pertandingan
sepak bola. Klub sepak bola dan pemainpun kemudian menjadi komoditas yang
memiliki nilai tertentu dan bisa diperjual belikan.
Begitulah bisnis hiburan bekerja. Ada pertunjukkan, ada drama
tersaji dan ada emosi penonton yang diaduk-aduk. Kompetisi sepak bola adalah
pertunjukkan drama sama halnya dengan pertunjukkan kesenian hiburan lainnya.
Yang membedakannya adalah ketiadaan skenario yang mengakibatkan drama yang
tersaji dalam sepak bola menjadi jauh lebih menarik.
Kemenangan dan kekalahan sebuah tim sepak bola adalah
misteri hingga akhirnya pertandingan selesai. Semakin penuh misteri, semakin
manariklah sebuah pertandingan sepak bola. Maka guna memastikan akhir terbaik,
sepak bola meletakkan sportivitas diatas segalanya. Sementara dalam seni
hiburan kesenian ketoprak, tidak hanya pemainnya yang harus prima melainkan diperlukan
skenario yang terbaik untuk menghadirkan pertunjukkan yang benar-benar
menghibur.
Tetapi kadang kala pengelola kompetisi sepak bola lupa akan
perbedaan prinsip kerja industri sepak
bola. Alih-alih membiarkan hasil akhir pertandingan sepak bola sebagai misteri,
mereka justru sibuk menyiapkan skenario-skenario untuk memenangkan dan
mengalahkan tim-tim tertentu, bertindak seolah-olah mereka adalah sutradara. Mereka lupa kalau mereka sedang mengelola kompetisi
sepak bola bukan pertunjukkan kesenian Ketoprak.
Dengan banyaknya keputusan yang kontroversial seperti
memenangkan WO Bhayangkara FC atas Mitra Kukar, Pengelola Kompetisi Sepak Bola
Liga 1 Indonesia bertindak tidak lebih hanyalah pengelola pertunjukkan kesenian
Ketoprak bukan kompetisi sepak bola yang sehat dan menjunjung tinggi
sportivitas. Kompetisi sepak bola yang dikelola seperti mengelola pertunjukkan
ketoprak hanyalah akan menghadirkan kekecewaan, kekesalan dan kemarahan. Lebih
jauh, ulah pengelola Liga 1 Indonesia ini akan membunuh sepak bola Indonesia.
Semarang, 9 November 2017
Komentar