Banjir di Badung Selatan dan Denpasar di Tahun Politik
Sejumlah wilayah di Kabupaten Badung bagian selatan dan Denpasar diterjang banjir Selasa, 23 Januari
2018. Di media sosial menyebar dengan cepat berbagai foto dan video yang
menggambarkan parahnya banjir terutama di kawasan pariwisata Kuta. Seorang wisatawan
asing, menaiki kano disebuah jalanan yang dipenuhi air. Ada pula foto yang
menunjukkan mobil yang terparkir di halaman sebuah rumah nyaris seluruhnya
ditutupi air banjir. Sementara foto lain menampakkan perahu karet tim SAR
berusaha mengevakuasi warga yang rumahnya diterjang banjir.
Saya warga Denpasar yang berada di tanah rantau Semarang
Jawa Tengah, dapat dengan cepat menerima informasi apa yang terjadi di Denpasar
dan Badung melalui media sosial. Inilah keuntungan kemajuan teknologi
komunikasi yang memungkinkan penyebaran informasi dengan cepat. Tentu hal
pertama yang terlintas dipikiran adalah, bencana banjir ini akan menunjukkan benar
adanya kalau daya dukung kawasan Bali Selatan sudah sangat lemah. Melihat
pembangunan fisik yang nyaris terkesan liar, menjadikan bali selatan tidak
mampu lagi mengantisipasi dampak alam. Lalu siapa yang patut disalahkan dengan
kondisi ini?
Adalah menjadi ciri khas masyarakat di Indonesia termasuk
Bali, tudingan pertama akan diarahkan kepada pemimpin daerah. Bupati, Walikota
dan Gubernur lah yang dianggap kurang becus mengurus daerahnya sehingga bencana
banjir menerjang. Apalagi banjir diawal tahun 2018 ini bertepatan dengan tahun
politik Pilkada serentak. Ada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali.
Banyak netizen dengan serta merta menggunakan bencana ini sebagai sarana
menyerang atau mendukung calon gubernur dan wakil gubernur Bali. Pendukung
Mantra-Kerta akan mengaitkan banjir di Kawasan Badung dengan terlalu asyiknya
Bupati Badung Giri Prasta mengkampanyekan Koster-Ace. Sementara pendukung
Koster-Ace menunjukkan ketidakbecusan Rai Mantra sebagai Walikota Denpasar yang
dibuktikan dengan sejumlah kawasan di Denpasar yang juga diterjang banjir.
Bencana banjir pun lalu menjadi komoditas politik. Semua
pihak sibuk saling menyalahkan satu dengan lainnya. Menyalahkan satu calon Gubernur dengan harapan dukungan dalam Pilgub kepada
calon ini nanti akan berkurang. Yang
disalahkan tidak mau kalah, balik menyalahkan dengan harapan yang sama. Banjir
dilihat sebagai senjata menjatuhkan lawan politik. Ini konsekuensi banjir
terjadi ditahun politik.
Padahal banjir adalah akibat dari banyak faktor yang terjadi
dalam kurun waktu yang panjang. Tidak merupakan akibat dari hal yang terjadi
setahun atau dua tahun sebelumnya. Banjir adalah dampak dari berbagai perubahan
yang terjadi selama bertahun-tahun dalam pemerintahan-pemerintahan sebelumnya,
bukan hanya karena bupati, walikota atau gubernur yang menjabat hari ini.
Selain itu yang juga harus dipahami oleh warga masyarakat Bali khususnya di
Badung dan Denpasar, justru peran merekalah yang paling menjadi penyebab utama
banjir. Dari hal yang paling sederhana adalah bagaimana sampah yang dibuang
sembarangan di sungai atau selokan. Demikian pula dengan pembangunan rumah atau
tempat usaha yang tidak jarang mengabaikan aspek lingkungan. Sempadan sungai
dipergunakan untuk bangunan rumah tinggal atau kos-kosan. Kawasan jalur hijau,
dipaksa oleh warga untuk dirubah karena nilai ekonomisnya lebih menggiurkan.
Belum lagi, tanah-tanah yang dahulunya adalah dipenuhi tumbuhan juga ditanami
dengan beton. Jadilah pembangunan di Badung dan Denpasara yang terkesan demikian
tidak terkendali.
Banjir yang terjadi Selasa, 23 Januari 2018 di Badung dan
Denpasar adalah pembuktian yang tidak bisa dibantah. Bali Selatan mengalami
degradasi yang sangat parah. Apa yang terjadi di awal tahun 2018 ini bisa jadi
belum apa-apa dibandingkan 5 atau 10 tahun yang akan datang. Banjir akan
semakin parah dan menjadi-jadi. Tidak berlebih jika 5 atau 10 tahun lagi,
dengan intensitas hujan seperti tahun ini, Badung dan Denpasar akan tenggelam.
Apalagi jika reklamasi teluk Benoa benar-benar dilakukan. Jangan lagi
mencari-cari argumentasi tidak ada hubungan reklamasi Teluk Benoa dengan
ancaman banjir di Denpasar dan Badung. Reklamasi Teluk Benoa, pasti akan
memperparah Banjir. Bahkan tidak hanya banjir, ancaman rob (air laut yang
mebanjiri daratan meski tidak ada hujan) akan menjadi keniscayaan.
Jadi berhenti menggunakan banjir untuk komoditas politik
sesaat untuk mendukung atau menjatuhkan calon gubenrur dan wakil gubernur. Agar tak lagi banjir makin parah di Badung dan
Denpasar, jaga lingkungan, jangan buang sampah sembarangan dan jangan pernah
ragu bersikap ; Tolak Reklamasi Teluk Benoa!!!.
Semarang, 25 Januari 2018
Komentar