Kegembiraan Kecil Dibalik Merananya Bisnis Media Cetak
Setiap pagi saya menyempatkan diri membaca Koran di tempat
saya bekerja. Kantor saya masih berlangganan 2 koran lokal dan 1 koran
nasional. Sambil menyimak judul-judul berita, saya sesekali mengamati tiap-tiap
halaman Koran dan menemukan fakta hampir sebagian besar halaman Koran kini
dipenuhi dengan berita. Hanya sedikit sekali iklan display atau banner produk yang
tersaji. Bahkan Koran nasional yang dulu kabarnya pemasang iklang harus indent
agar iklan bisa dimuat kini ikut nampak sepi. Pun demikian dengan iklan baris.
Jumlahnya makin menyusut. Kalaupun Koran lokal masih terlihat ada hingga 2
halaman iklan baris, itu adalah iklan baris yang sudah di diskon. Bayar 1 kali
dimuat gratis 2 kali.
Media cetak seperti Koran harian kini memang makin merana.
Seakan-akan sedang menghitung nafas-nafas terakhirnya. Namun demikian ada
sedikit kegembiraan kecil dibalik merananya bisnis media cetak yang mungkin
dirasakan para wartawan/jurnalis. Lalu, apakah kegembiraan kecil wartawan
dibalik merananya bisnis media cetak tersebut?
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia media massa, saya
merasakan “penderitaan” yang kini dialami oleh media cetak, terutama dalam
bidang bisnisnya. Penurunan iklan yang sangat signifikan jelas memukul dengan
telak pengelola karena pendapatannya yang terjun bebas. Seorang teman yang
bekerja dibagian iklan sebuah media lokal menyebutkan bahwa pendapatan iklan
hanya tercapai sekitar 10 persen saja dari tahun-tahun sebelumnya. Ini jelas
adalah bencana bagi bisnis media cetak.
Media cetak di Indonesia selama ini mendapatkan keuntungan
berlimpah dari pengiklan. Sementara pendapatan dari berlangganan sebagai sumber
kedua. Ada yang menyebut bahwa perbandingan pendapatan dari iklan dan
langganan, 70% : 30%. Contohnya, jika sebuah media cetak omset kotornya Rp 1
Milyar per bulan, maka dari iklan disumbang Rp 700 juta sementara dari
langganan Rp 300 juta. Jadi, pendapatan
dari iklan sangatlah menentukan keuntungan bersih sebuah bisnis media cetak.
Keuntungan media cetak ketika masa jayanya, memang
menjadikan pemilik berlimpah uang. Mungkin karena saking banyaknya keuntungan,
pemilik media cetak kemudian mengembangkang bisnis lainnya. Ada yang masih
berhubungan dengan media massa ada juga yang sama sekali berbeda. Misalnya
perusahaan media cetak memiliki bisnis property, hotel, pendidikan dan banyak
lagi lainnya. Namun, bisnis inti mereka yakni media cetak tetap adalah mesin
uang yang paling kuat. Itu ketika masa jayanya bisnis media cetak, masa ketika
pengiklan banyak membelanjakan anggarannya ke media cetak.
Kini semuanya sudah berubah. Pengiklan tidak lagi antusias
memasang promo produknya di media cetak. Ada sejumlah penyebab untuk terjadinya
kondisi ini. Pertama karena lesunya ekonomi global dan nasional. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia misalnya hanya dikisaran angka lima koma sekian persen
Kondisi pertumbuhan ekonomi internasional lebih parah lagi dibawah lima persen.
Dengan pertumbuhan ekonomi lesu, jelas daya beli masyarakat rendah, barang yang
dijual juga tidak terlalu laku. Perusahaan-perusahaan perlu melakukan
efesiensi, dan anggaran iklanlah yang paling pertama dipangkas.
Penyebab kedua, adalah penurunan oplah media cetak. Kebiasaan
membaca Koran sudah jauh menurun. Generasi-generasi baru tidak menyukai membaca
kertas, mereka lebih senang memelototi layar gadget yang menyediakan hampir
semua keinginan. Bahkan berlangganan Koran hari ini dianggap prilaku yang aneh,
buang-buang duit. Banyak tersebar kabar bahwa oplah media cetak menurun cukup drastis.
Sebagai gambaran, sebuah media cetak yang dulunya menggunakan mesin cetak
berkapasitas besar yang dimiliki oleh perusahaannya sendiri, kini harus
mencetak ke perusahaan media cetak yang kapasitasnya lebih kecil milik pihak
lain. Jadi mesin cetak besar yang dimiliki sekarang justru mubazir.
Namun ada sisi positif dari realitas yang ada saat ini
ketika halaman media cetak Koran lebih banyak diisi berita. Para jurnalis bisa
memiliki ruang yang lebih banyak untuk menyajikan hasil liputan. Kondisi yang
tentunya tidak terjadi ketika Koran masih dipenuhi oleh iklan. Jurnalis yang
sudah susah payah meliput berita, seringkali beritanya tidak dimuat karena
halamannya hampir setengahnya diisi iklan.
Saya pernah mengalami kondisi dimana berita yang saya tulis
sebagai hasil liputan, urung dimuat oleh redaktur. Alasannya bukan karena
tulisan yang tidakmemenuhi harapan melainkan karena sebagian besar halaman
sudah diisi iklan. Ada rasa kecewa dalam pikiran saya karena setelah susah
payah menuangkan pikiran setelah sebelumnya meliput, akhirnya hanya sia-sia. Dengan
kondisi seperti saat ini yang minim iklan, bisa dikatakan saat ini adalah masa
dimana para anggota redaksi dan jurnalis media cetak lebih leluasa, tidak
terganggu oleh bagian iklan. Ini adalah sebuah kegembiraan.
Hanya saja, kegembiraan karena keleluasaan menulis dan
menyajikan berita tentu tidaklah berarti apa-apa jika dari sisi logistik perusahaan
media cetak mengalami pukulan telak. Media cetak, meski adalah perusahaan yang
produknya berada dalam ranah pemikiran idealis, tetaplah adalah perusahaan yang
membutuhkan ongkos produksi. Wartawan dan karyawan di media cetak adalah
manusia yang harus dipenuhi kesejahteraan hidupnya. Dan ini didapatkan dari
upah/gaji. Demikian pula dengan Koran yang ada ongkos cetak, ada ongkos beli
kertas dan distribusinya. Semuanya membutuhkan biaya.
Apabila biaya-biaya yang harus dikeluarkan lebih banyak
dibandingkan pendapatan yang dihasilkan, konsekuensinya jelas, perusahaan media
cetak akan rugi. Jika terus menurus menanggung rugi, itu berarti media cetak
akan berhenti terbit. Ini konsekuensi logis ekonomis, karena media cetak
tetaplah bisnis yang tunduk pada hukum besi ekonomi yakni untung rugi secara
materi.
Semakin hari, senjakala bisnis media cetak makin nyata. Sudut
tenggelamnya matahari bisnis media cetak semakin mendekati derajat terendah
menjelang menyatu dengan horizon bumi. JIka sudah mencapai titik nol derajat,
maka bisnis media cetak sudah berada dalam kegelapan malam. Memang media cetak
belum akan musnah. Namun masa gelap bisnisnyalah yang akan sulit dicegah.
Sepertinya apapun usaha untuk mempertahankannya, kecil kemungkinan akan
berhasil.
Meski demikian, kemungkinan kecil bukan berarti mustahil.
Harapan masih tersimpan dari perbaikan ekonomi global dan nasional. Jika
ekonomi membaik dan pertumbuhan ekonomi tinggi, bisnis menjadi sumringah, ada
kemungkinan perusahaan akan memasang iklan kembali di media cetak. Nafas media
cetak akan sedikit panjang. Kematiannya masih bisa ditunda. Sementara itu,
pekerja media terutama jurnalis, dalam kegembiraan kecil yang dirasakan kini, harus
terus meningkatkan kualitas pemberitaannya. Menjadikan berita yang disajikan
adalah informasi yang terpercaya. Ini untuk melawan berita-berita tidak
berkualitas yang disajikan melalui media online.
Saya pribadi masih memiliki keyakinan, bisnis media cetak
akan terselamatkan, meski tidak lagi dengan mudah memasuki masa keemasannya
seperti tahun-tahun sebelum 2014.
Semarang, 12 Januari 2018
Komentar