Menuntut Tanggungjawab Perusahaan Penyedia Media Sosial
Hoax dan ujaran kebencian di media sosial melahirkan
persoalan yang pelik bagi masyarakat dunia yang terlanjur gandrung dengan
demokrasi. Dilema yang dihadapi adalah apakah hoax dan ujaran kebencian di
medsos harus di batasi mengingat dampak buruknya yang sangat besar, ataukah
dibiarkan saja karena itu merupakan bentuk kebebasan berkespresi sebagai salah
satu hak asasi manusia dalam masyarakat demokratis. Perdebatan antara yang
berusaha membatasi dengan yang tidak ingin dibatasi berlangsung cukup tajam. Tetapi
sepertinya banyak negara yang mulai khawatir terutama karena hoax dan ujaran
kebencian telah mengancam segi-segi kehidupan manusia yang beradab.
Di Indonesia misalnya, hoax dan ujaran kebencian telah
menjelma sebagai kekuatan yang meletupkan watak intoleran. Kegagapan dalam
mengantisipasi beredarnya Hoax dan ujaran kebencian di medsos menjadikan banyak
generasi muda di Indonesia menjadi intoleran.Hoax dan ujaran kebencian bahkan telah dengan suskses mengaburkan kebenaran di pikiran masyarakat.
Ironisnya nyaris
tidak ada langkah tepat yang bisa dilakukan untuk membatasi hoax dan ujaran
kebencian. Penegakan hukum dengan mempidanakan penyebar hoax dan ujaran
kebencian tidak benar-benar efektif. Efek
jera yang diharapkan muncul dengan memenjarakan penyebar konten hoax dan ujaran
kebencian tidak tercapai. Konten hoax dan ujaran kebencian masih sering muncul
di medsos.
Dalam kondisi dilematis seperti saat ini, apa yang dilakukan
oleh pemerintahan Jerman dengan menerbitkan undang-undang anti ujarankebencian,
mungkin dapat menjadi salah satu contoh penanganan hoax dan ujaran kebencian
yang bisa ditiru negara lainnya. Undang-undang yang disebut dengan NetzDG yang disahkan
sekitar Juni 2017 dan mulai berlaku efektif awal 2018 ini akan mengenakan denda
yang cukup besar kepada penyedia jasa media sosial. Denda yang besarnya mencapai
Rp 800 milyar akan dikenanakan apabila pihak penyedia jasa media sosial tidak
segera menghapus konten-konten unggahan netizen yang dinilai merupakan ujaran
kebencian dan hoax yang dalam bahasa undang-undang disebutkan sebagai konten
illegal.
Pemikiran menghukum perusahaan medsos sebenarnya sudah cukup
lama dilontarkan ke publik. Di Indonesia hal seperti ini sejak sekitar 2 tahun
lalu sering disampaikan Agus Sudibyo, mantan anggota Dewan Pers melalui
beberapa tulisan artikelnya di harian Kompas. Agus Sudibyo mempertanyakan
tanggungjawab perusahaan penyelenggara media sosial terkait menguatnya dampak
buruk dari penggunaan media sosial seperti merebaknya Hoax dan ujaran kebencian
(hate speech).
Selama ini, masyarakat hanya sibuk mendesak otoritas
kekuasaan untuk menindak mereka yang mengunggah konten hoax dan hate speech
tetapi melupakan bahwa dampak buruk hoax dan hate speech hanya dimungkinkan
karena adanya media sosial. Selain itu, perusahaan operator media sosial
semacam facebook, twitter, google atau youtube mereguk keuntungan finansial yang
sangat besar. Bahasa sederhananya, perusahaanmedsos menikmati keuntungan,
sementara masyarakat harus menanggung dampak buruknya saja. Perusahaan medsos
seolah-olah lepas tangan begitu saja atas permasalahan yang ditimbulkan dari
bisnis yang mereka kembangkan.
Pihak perusahaan medsos selalu enggan dimintai
pertanggungjawab dengan alasan bahwa tidak terlibatnya mereka dalam proses
pengaturan mengenai konten/isi yang diunggah oleh pengguna sebagai bentuk dari
jaminan perlindungan kebebasan berekspresi. Ini perwujudan dari prinsip-prinsip
demokrasi. Jika perusahaan penyedia medsos aktif melakukan penyaringan apa yang
boleh dan tidak diunggah di media sosial, itu akan menjadi penghambat kebebasan
berekspresi dan anti demokrasi. Netizenlah yang didorong untuk bijak dalam
mengkonsumsi setiap informasi yang didapatkan dari media sosial. Media sosial
hanyalah instrumen mekanis yang karenanya kemudian diberi label bebas nilai.
Alasan yang disampaikan perusahaan medsos tersebut, mungkin
memiliki dasar argumentasi yang kuat jika dikaitkan dengan logika demokrasi.
Namun tidaklah demikian jika disadari bahwa keuntungan finansial yang telah mereka raup
selama ini dari penyediaan medsos telah menjadikan mereka manusia-manusia super
kaya di dunia. Tentunya, dengan menikmati keuntungan yang besar, perusahaan seharusnya
memiliki tanggung jawab menekan efek buruk dari penyediaan jasa yang mereka
lakukan.
Disisi lain, yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa
undang-undang anti ujaran kebencian di Jerman tersebut tidaklah menghukum
dengan ancaman penjara badan melainkan denda. Hal ini menepis pandangan jika
undang-undang akan membatasi kebebasan berbicara dan berekspresi sebagai salah
satu hak asasi manusia. Dengan mengenakan hukuman berupa denda kepada
perusahaan medsos, maka sesungguhnya “penyensoran” lebih bersifat demokratis karena
tanggungjawab diserahkan kepada pihak-pihak yang menjadi pelaku dalam proses
komunikasi. Ini berbeda halnya jika penyensoran di dilakukan oleh kekuasaan
pemerintahan yang berarti ada unsur otoritarianisme.
Kebebasan berbicara di media sosial memang bagian penting
dari demokrasi. Informasi yang bebas, penyampaian pendapat yang tidak dibatasi
dan kebebasan dalam berekspresi adalah syarat multak demokrasi. Media sosial
merupakan perwujudan kebaikan dari demokrasi itu sendiri karena memungkinkan
semua persyaratan masyarakat yang demokratis terpenuhi.
Tetapi, sebuah kebaikan sekalipun jika dipergunakan secara
berlebihan tentu akan mengakibatkan dampak buruk. Pengendalian berkomunikasi di
medsos menjadi hal yang mendesak dilakukan. Indonesia menjadi negara yang perlu
memperhatikan hal ini mengingat potensi dampak buruk hoax dan ujaran kebencian
cukup besar akibat terlalu tingginya keberagaman yang ada. Indonesia cukup
mendesak meniru Undang-undang Anti Ujaran Kebencian di Jerman yang memungkinkan
perusahaan medsos dihukum.
Semarang, 8 Desember 2018
Komentar