Fenomena Fajar “Sadboy”

 

Fajar, sebutan untuk terbitnya matahari di pagi hari. Setelah gelapnya malam, fajar yang menyingsing melahirkan terang. Dalam kegelapan, tidak banyak yang bisa dilakukan manusia karena sulit menentukan arah. Namun begitu sebersit sinar dari fajar di ufuk timur merekah, harapanpun membuncah. Mereka yang terjerambab dalam kegelapan sangat merindukan datangnya fajar. Karena itulah, fajar identik dengan kegembiraan dan kebahagiaan sekaligus harapan.

 

Tidak banyak fajar yang bisa dimaknai sebagai kesedihan, kecuali Fajar Labatjo atau yang dikenal dengan sebutan Fajar Sadboy, Fajar si anak yang selalu bersedih. Orang tua Fajar Sadboy tentulah hanya mengharapkan kebahagiaan ketika memberi nama anaknya dengan kata fajar. Atau berharap sang anak selalu bisa memberikan harapan kepada keluarga dan juga orang-orang di sekitarnya. Atau setidak-tidaknya dengan memberi nama fajar, sang anak akan selalu memiliki harapan betapapun sulit hidup yang dia hadapi.

 

Hanya saja, Fajar Labatjo tidak menunjukkan keteguhan hati. “Hanya” karena urusan putus cinta di usianya yang sangat remaja, dia menangis, seolah-olah harapannya telah sirna. Didukung wajah yang memang mudah mengundang iba, Fajar kemudian menarik perhatian publik begitu kuat.  Dia menjadi magnet, yang menyedot entah rasa iba atau ejekan bahkan sangat mungkin, sarkasme. Bagaimana tidak, kondisi putus cinta, hal yang biasa dialami remaja, khusus pada Fajar Sadboy menjadi hal yang sangat berbeda. Perbedaan yang berada diluar batas kewajaran.

 

Dalam era yang serba cepat dan penuh banalitas akibat terjangan media sosial, jadilah Fajar Sadboy menjelma menjadi selebritis dadakan. Hampir semua televisi nasional telah mengundangnya. Konon, dia sudah masuk ke dalam manajemen artis, artinya Fajar Labatjo, si anak yang selalu bersedih telah menjadi professional. Apa yang dijual dalam profesinya, tentu saja tidak lain, wajahnya yang sedih dan mengundang iba itu. Satu lagi, “kehebatan” nya merangkai kata menjadi kalimat indah, romantic tetapi sekaligus tragis. Bisa jadi itu memang hasil dari perenungannya menghadapi beratnya hidup, atau bisa juga dirancang oleh tim kreatif di dalam manajemen artisnya.

 

Biasanya, sosok yang terkenal karena hal yang tidak terduga, tidak akan lama bertahan. Publik akan cepat bosan. Norman Kamaru dan Sinta-Jojo bisa menjadi contoh. Ketika Norman Kamaru si polisi joget india, mencoba jadi artis professional, nyatanya gagal. Sinta – jojo si duet keong racun, sesekali masih muncul tapi tidak memberi warna lagi secara signifikan. Fajar Sadboy mungkin akan mengalami hal serupa.

 

Kembali ke soal fajar yang umumnya dimaknai sebagai kebahagiaan, nama Fajar Sadboy menghadirkan benturan makna. Munculnya harapan Bahagia dalam kata fajar, “dinodai” dengan frasa “sadboy” (anak/remaja yang bersedih). Apalagi anak/remaja (boy) yang biasanya selalu bahagia karena tidak banyak beban hidup, harus dihubungkan dengan kesedihan (sad), sebagai identitasnya.  Selain itu, bersedih dan patah hati biasanya telah terstigmakan pada perempuan. Laki-laki distigmakan lebih tegar, kuat saat di putus pacar atau menghadapi masalah hidup. Walau realitanya yang terjadi sebaliknya. Laki-laki itu lebih rapuh dibandingkan wanita. Indikasinya, berdasarkan penelitian, pelaku kasus bunuh diri lebih banyak laki-laki.

 

Fajar Sadboy adalah fenomen kekinian. Dia cepat menarik perhatian, kemungkinan akan cepat pula dilupakan. Meski yang membuatnya menarik adalah kesedihannya, tetapi publik tentu saja merasakan hiburan saat menyaksikan air mata Fajar Sadboy menetes. Terhibur dengan duka orang lain bukanlah tak beretika, terlebih lagi jika duka itu tidaklah terlalu serius. Lebih tidak masalah menertawakan kesedihan jika itu hanyalah untuk tujuan agar kontennya mengundang sebanyak-banyaknya viewers/penonton.

 

Denpasar, 18 Februari 2023

Komentar

Postingan Populer