Tuhan : Dibutuhkan Himpunan

 

“Jadi, alih-alih mencari tuhanku, aku harus menciptakan Nya. Mungkin tepatnya bukan menciptakan. Merancang. Menghimpun. Dia harus berpondasi Yahudi, tetapi ditopang Budha. Dia harus memiliki hati sufi, kesederhanaan Tao, kebaikan hati Fransiskan, keceriaan Raelian” 

Eric Weiner dalam buku “Man Seeks God”

 

Indonesia yang mengalami polarisasi kuat gara-gara agama, ada baiknya membaca buku yang ditulis Eric Weiner berjudul “Man Seek God”. Ditulis dengan gaya yang ringan bahkan banyak bercanda, Eric mengajak kita sesekali menertawakan cara manusia memuja tuhan melalui agama. Hebatnya, tidak ada sama sekali bahasa atau kalimat yang merendahkan keyakinan dan ritual pemujaan, seaneh apapun pelaksanaan ritual tersebut.

Justru dengan kecerdasan dan wawasannya yang luas (karena Eric seorang kutu buku), pembaca akan memiliki perspektif yang lebih bijak memahami agama yang berbeda. Seharusnya dengan membaca buku ini, sikap-sikap toleransi terhadap perbedaan agama akan makin kuat. Sang penulis nyaris berhasil menemukan titik persamaan yang harusnya membuat sikap kaku sebagai akar intoleransi mengendur. Perspektif bahwa agama yang diyakini adalah yang paling baik sementara yang lainnya buruk menjadi tidak lagi memiliki ruang.

 

Ada 8 agama atau keyakinan yang coba dijelalahi oleh Eric Weiner yang merupakan mantan jurnalis radio ini. Kedelapan agama/keyakinan itu; Sufisme, Budhisme, Fransiskan, Raelisme, Taoisme, Wicca, Syamanisme dan Kabbalah. Masing-masing agama tersebut diulas berdasarkan pengalamannya langsung mengikuti dan bahkan mempraktekkan ritual pemujaan, doa serta meditasi/yoga dari kedelapan agama. Misalnya pada upayanya memahami keyakinan Fransiskan sebagai bagian dari Kekristenan, Eric ikut melakukan pelayanan kepada kaum papa. Sementara dalam memahami Wicca-salah satu agama kaum penyihir- Eric mengikuti ritual khusus kum penyihir. Praktik Syamanisme diikuti dengan melakukan semacam ritual memanggil roh hewan, karena bagi syamanisme, menurut Eric, tuhan mereka adalah seekor binatang. Pengalaman paling menggelikan Eric Weiner adalah ketika mempraktikkan Raelisme, agama yang meyakini bahwa tuhannya yakni Elohim sebagai alien yang menciptakan bumi berdasarkan sains/ilmu pengetahuan. Praktik menggelikan itu adalah ritual bertukar gender, dimana seorang laki-laki harus menjadi perempuan dan begitu sebaliknya. Eric harus menjadi seorang perempuan lengkap dengan pakaian dan payudara palsu.

 

Eric Weiner sampai pada keseimpulan bahwa tuhan tidaklah cukup hanya dipahami dengan praktik tunggal agama. Dalam epilognya, tuhan disebut sebagai sebuah himpunan. Praktik seperti meditasi dan yoga menjadi hal yang hampir ada di semua agama. Demikian pula dengan pengucapan mantra yang memperkuat ritual dan doa juga ada disemua agama. Semuanya memberikan manusia, apa yang disebut Eric sebagai “jeda”, waktu yang berhenti sejenak dimana manusia memiliki kesempatan melakukan perenenungan/kontemplasi. Kehidupan manusia biasanya berputar terus menerus dalam sebuah rutinitas dengan emosi yang turun naik. Dengan melakukan meditasi, yoga, pelafan mantra dan doa akan memberikan kesempatan manusia untuk memisahkan “aku” dari kehidupan. Zikir, tarian darwis, pelayanan kepada kaum papa, ritual upacara dengan sarananya adalah wujud lain dari meditasi.

 

Perbedaan praktik beragama mungkin ada pada dimana titik fokus, ada yang mengutamakan tindakan/perbuatan, sementara yang lain cukup dengan doa/pengucapan/memuja tuhan dengan ucapan doa. Agama-agama timur, berfokus pada perbuatan sementara monoteisme berfokus pada kekuatan doa. Namun apapun itu, Eric Weiner menemukan bahwa semua agama adalah wujud cinta kasih kepada kemanusiaan. Tuhan dan agama hadir untuk memuliakan alam dan manusia.

 

Perbedaan agama, tuhan dan keyakinan tidak seharusnya menjadikan manusia terbelah.  Semua agama baik ketika mampu mengubah yang paling menjijikkan dari diri kita menjadi yang tidak hanya layak mendapat pengakuan tetapi juga cinta. Untuk mencapai tujuan inilah olah tubuh seperti meditasi, atau berdoa akan membantu. Tetapi perubahan itu tetaplah menjadi proses yang misterius. Orang Kristen menyebutnya berkat, Budhisme menyebutnya hakikat sedangkan taoisme tidak memberi perubahan ini dengan nama apapun.

 

Pernyataan menarik dari Eric Weiner adalah :

“Jadi, alih-alih mencari tuhanku, aku harus menciptakan Nya. Mungkin tepatnya bukan menciptakan. Merancang. Menghimpun. Dia harus berpondasi Yahudi, tetapi ditopang Budha. Dia harus memiliki hati sufi, kesederhanaan Tao, kebaikan hati Fransiskan, keceriaan Raelian”  

 

Eric Weiner meragukan keyakinannya ini, dimana Tuhan menurutnya adalah himpunan dari berbagai keyakinan/agama. Dia bertanya, apakah ini benar? Ya dan tidak, jawabnya.  Namun dengan bijaksana dia mengutip penyair William James : Kebenaran adalah apa yang bermanfaat.

 

Denpasar, 13 Februari 2023

Komentar

Postingan Populer