Pertarungan Senyap “Melawan” Fundamentalisme
Selama bermukim di Semarang Jawa Tengah, saya beberapa kali mengikuti
kegiatan ziarah kubur. Paling sering ke makam Sunan Kalijaga di Demak, Makam
Sunan Pandarang di Borgota Semarang serta Makam Sunan Bayat di Bayat Klaten.
Karena itulah saya tertarik membaca buku karya George Quinn berjudul “Wali Berandal
Tanah Jawa” ( Judul aslinya; Bandit Saints of Java : How Java’s Eccentric
Saints are Challenging Fundmentalist Islam in Modern Indonesia). Buku ini
menjawab pertanyaan saya tentang bagaimana Ziarah Kubur menjadi sebuah tradisi
yang justru menunjukkan perkembangan ketika gerakan fundamentalisme juga
menguat.
Dalam tradisi ziarah kubur memang terjadi benturan keras
antara Islam Fundamentalis dan Islam yang mengakar pada diri manusia Jawa. Di satu
sisi, bagi kaum radikal, ziarah kubur adalah bentuk bid’ah. Sementara dalam
benak manusia muslim Jawa, ziarah kubur adalah sebuah panggilan bathin yang
tidak mudah ditolak.
George Quinn yang mendasarkan tulisannya pada pengalaman
pribadi menziarahi banyak makam keramat di Tanah Jawa, dengan jernih menggambarkan
sejarah masing-masing makam keramat yang dipercayai sebagai tempat
bersemayamnya manusia-manusia suci (saint/wali), dimana doa dan permohonan
dipanjatkan.
Ziarah makam para wali ini, menunjukkan tren meningkat
setiap tahun. Ratusan ribu bahkan jutaan manusia setiap tahunnya melakukan
perjalanan ke makam-makam keramat yang membentang dari barat hingga timur tanah
Jawa. Pemerintah daerah melihat ini sebagai peluang ekonomi pariwisata sehingga
berbagai fasilitas dan infrastruktur penunjang disiapkan.
Realitas ini tentu saja paradoksal, ketika gerakan
fundamentalisme Islam yang justru makin hari makin menguat. Quinn menjadikan
kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) saat Pilkada DKI
sebagai momentum menguatnya fundamentalisme Islam di Indonesia. Gerakan yang
diakui oleh Quiin memberikan dampak perubahan pada ritual saat ziarah makam.
Aliran manusia yang melakukan ziarah makin meningkat, namun ritual seperti
membawa dan mengambil kembang/bunga setaman (mawar merah putih, kantil dan
kenanga) serta membakar kemenyan yang dulu biasa dilakukan kini sudah mulai
hilang. Bahkan Quinn yang dulu diterima
dengan baik di masjid maupun makam keramat , kini diusir secara halus.
Penggunaan frasa “Wali berandal”, dalam judul maupun isi
tulisan dalam buku ini sepertinya dimaksudkan sebagai bentuk “perlawanan” dari upaya
penyeragaman yang begitu kuat dalam keyakinan Islam dari Timur Tengah. Bahwa
sejak dahulu, ketika Islam mulai menyebarkan pengaruhnya di nusantara. Bahwa,
jalan penyebaran agama Islam selalu mengalami penyesuaian dengan kayakinan pra Islam.
Pemikiran Hindu Budha yang memang kemudian tunduk, tidak sepenuhnya luruh. Manusia-manusia
Jawa yang telah memeluk Islam tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi leluhurnya.
Kisah latar belakang para wali dalam buku ini, semisal Sunan
Kalijaga adalah seorang kriminal. Sebelum mendapatkan “pencerahan” Sunan
Kalijaga biasa melakukan kejahatan perampokan hingga pembunuhan. Orang-orang “suci”
lainnya yang dimakamkan dalam makam keramat juga memiliki latar belakang
serupa. Namun “berandal” dalam perbuatan seperti merampok, juga dibungkus dengan
tindakan menolong mereka yang kesusahan. Kisahnya menjadi mirip seperti Robin
Hood di Eropa, merampok yang kaya kemudian membagikan hasilnya kepada yang
miskin. “Keberandalan” lainnya dari para wali tanah Jawa adalah keteguhan dalam
hal keyakinan yang berbeda dengan Islam ala timur tengah.
Sunan Panggung, kakak Sultan Trenggana penguasa kerajaan
Demak, sosok yang dinilai oleh para Wali Sanga, Mbeling, karena memelihara dua
ekor anjing dan menekuni ilmu kebhatinan yang menyimpang dari ajaran Islam murni.
Sunan Panggung dihukum dengan cara dibakar, namun api tidak menghanguskannya. Justru
dari ketika keluar dari kobaran api yang dimaksudkan menghangsukan, Sunan
Panggung keluar membawa Suluk Malang Sumirang. Isinya sangat mengejutkan yakni
pengetauan sempurna-kesempurnaan Islami-terdapat dalam keyakinan dan praktik
kaum kafir. Dalam Suluk Malang Sumirang
disebut ujar kapur kapir, ajaran kaum kafir.
Selain gaya bertutur yang mengalir lancar, Quinn dengan
cerdas mengkaitkan secara kontekstual, fenomena ziarah kubur dengan menguatnya
gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia. Ziarah kubur memang makin marak, namun purifikasi
ke Islam-an di Nusantara juga diakui terjadi. Banyak pemberitahuan dipasang di
makam-makam keramat bahwa melakukan permohonan kepada orang yang telah mati
adalah sesat. Ritual tradisi bunga setaman dan kemenyan juga sudah berkurang. Quinn menunjukkan kekhawatirannya atas
fenomena ini. Meski diakui bahwa pertarungan kaum fundamentalis dan Islam yang
toleran yang berdasarkan nilai-nilai leluhur Jawa masih tetap berlangsung hingga
kini. Perlawanan atas fundamentalisme
serta radikalisme ini terus berlangsung dan terjadi di pelosok lebih dalam
tanah Jawa.
Denpasar, 10 Maret 2023
Komentar