Prilaku, Penyakit dan Genetika

 

“Gen tidak hadir untuk menimbulkan penyakit”

 

Saya selalu tertarik untuk memahami apa yang menjadi penyebab dari prilaku manusia. Bagaimana nalar logika manusia seringkali dikalahkan oleh hal-hal yang bersifat emosional atau rasa. Saya telah membaca buku The Righteous Mind nya Jonathan Haidt. Bahwa nalar dan emosional manusia ibarat penunggang dan gajahnya. Emosional manusia sering lebih dominan, sehingga nalar/logika cenderung hanya menjadi pembenar. Ini menjawab pertanyaan mengapa manusia bisa melakukan tindakan kejam kepada sesama manusia. Manusia tidak hanya tunduk pada nalar/logika, namun secara genetika, memang mewarisi sifat/watak prilaku yang bersifat purba.

 

Saya menemukan penguatan atas teori ini pada Buku berjudul GENOM, Kisah Spesies Manusia dalam 23 Bab, yang ditulis Matt Ridley. Bahwa prilaku manusia ditentukan oleh gen dalam kromosom manusia. Ada watak-watak purba yang disimpan didalam gen dan itu terwariskan kepada setiap generasi. Sehingga otak dimana tempat nalar bermukim tidak menjadi satu-satunya pengendali manusia. Banyak hal dalam tubuh manusia, memberikan dampak kepada bagaimana manusia berprilaku.

 

Hanya saja Ridley kemudian memberi kita pandangan bahwa watak prilaku manusia juga tidak semata-mata ditentukan oleh gen.  Lingkungan sosial manusia harus diakui memberi dampak cukup besar. Namun, Ridley lagi-lagi mengingatkan bahwa klaim para filsuf atau ilmuwan psikologi, sosiologi dan antropologi yang meyakini bahwa prilaku manusia dibentuk determinan oleh faktor lingkungan tidak sepenuhnya benar. Jadi, dua hal yakni genetika dan juga lingkungan manusia menjadi pembentuk prilaku dan watak manusia.

 

Soal prilaku dan sifat manusia, memang tidak banyak dikupas dalam buku yang pertama kali terbit tahun 1999 ini. Ridley banyak mengupas dan memberi pemahaman bahwa penyakit tidak sepenuhnya bermula dari gen yang ada dalam kromosom manusia. Jika penelitian terhadap asal mula penyebab penyakit ditudingkan hanya kepada salah satu gen, maka  tentu dengan sangat mudah ditemukan obat-obatan untuk penyembuhan atau pencegahannya. Nyatannya, menurut Ridley, setiap manusia sebagai individu memiliki keunikannya masing-masing. Alih-alih menyalahkan gen, lingkungan sosial manusia juga memiliki pengaruh atas munculnya penyakit pada manusia. Itulah yang menyebabkan Ridley beberapa kali mengulang kalimat yang saya kutip di awal tulisan review buku ini yakni : Gen Tidak hadir untuk menimbulkan penyakit.

 

Meskipun memiliki sangat banyak refrensi mengenai genetika dikaitkan dengan penyakit yang mematikan, Ridley termasuk sangat bijak karena tidak menyalahkan gen sebagai penyebab tunggal penyakit bagi manusia. Ridley menolak apa yang disebut sebagai teori-teori yang bersifat determinan.  Bahwa penyakit tidak sepenuhnya disebabkan oleh gen. Lingkungan dan genetika merupakan dua hal yang saling memberikan pengaruh baik terhadap penyakit, maupun prilaku manusia.


Banyak istilah-istilah teknis dalam buku setebal 441 halaman ini.  Ridley yang seorang jurnalis entah bagaimana memiliki pengetahuan yang luas mengenai genetika. Seolah-olah Ridley adalah seorang ilmuwan di bidang genetika. Namun istilah-istilah teknis mengenai genetika dalam buku ini tidak akan membuat pembacanya takut. Sebab sebagai jurnalis, Ridley paham betul bagaimana caranya menjelaskan hal teknis ilmiah secara populer dan bisa dipahami oleh mereka yang awam soal genetika.

 

Kisah-kisah menarik juga banyak dalam buku yang telah naik cetak hingga sepuluh kali oleh penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama ini. Misalnya soal ketakutan atas kolesterol yang seharusnya tidak digebyah uyah. Bahwa memang ada orang yang memiliki gen rentan terkena dampak buruk kolesterol, namun tidak sedikit yang “kebal”. Inilah pentingnya penggunaan genetika dalam penentuan pengobatan atau pencegahan penyakit.

 

Ada juga kisah bagaimana peran para politisi yang tidak bijak dalam memutuskan bagaimana sebuah epidemi dicegah. Ridley mencontohkan dalam keputusan pencegahan penyakit sapi gila di Inggris. Kesalahan penentuan kebijakan politisi justru merugikan para peternak karena didasarkan pada ketakutan berlebihan.

 

Ada paragraph yang cukup menarik bagi saya dari buku Matt Ridley ini yakni berkaitan dengan pengetahuan dan kebodohan. Bagi dunia ilmu pengetahuan, bahan bakar yang membuatnya hidup adalah kebodohan. Ilmu pengetahuan bagaikan tungku kelaparan yang harus disuapi dengan kayu-kayu gelondongan dari hutan kebodohan di sekitar kita. Dalam prosesnya, makin banyak pohon kita tebang, semakin luas lahan terbuka kita, justru makin banyak pohon kebodohan tampak di depan kita.

 

Menurut saya, kita akan menjadi bijak jika mampu memahami bahwa kebodohan selalu akan bersama kita, meskipun ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Ilmu Pengetahuan akan memberikan kita bahwa ada banyak kebodohan-kebodohan lainnya. Mungkin ini menjadi pembenar bahwa kata-kata bijak, semakin banyak belajar, semakin bodohlah kita.

 

Denpasar, 16 April 2023


 

Komentar

Postingan Populer