Memandang Bali kini

Sempat pulang ke Bali beberapa waktu lalu untuk kepentingan tugas, saya melihat perubahan yang terjadi semakin pesat. Perubahan fisik adalah yang paling mudah untuk disimak. Bangunan-bangunan baru kini bertebaran hampir disepenjang ruas-ruas jalan di kota Denpasar. Tidak lagi mudah untuk menemui ruang kosong karena pandangan mata tertup nyaris rapat dengan berdirinya papan-papan advertiser ukuran raksasa. Bali mungkin akan mengalami perkembangan yang jauh lebih pesat lagi hingga kepadatannya berada pada ambang batas yang tidak mampu ditoelransi lagi.

Tidak saja secara fisik, meski hanya tiga dua hari pulang kampung, saya menangkap tekanan juga terjadi secara kejiwaan pada manusia-manusia Bali. Saya tidak menyimpulkan ini dari penyebab tetapi dampak atau akibatnya. Penyakit mudah menyerang dan banyak yang harus lebih cepat menghadap Yang Maha Kuasa secara mendadak. Berita-berita juga semakin dipenuhi tindakan kriminal. Bali tidak lagi sepenuhnya damai. Ia menyimpan bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak menghamburkan kotoran-kotoran yang disimpan erat dalam balutan aturan-aturan adat yang kian ketat. Manusia Bali mungkin sudah kehabisan daya untuk mengelola konflik-konflik baik didalam individu maupun masyarakatnya. Gempuran-gempuran dari luar nyaris gagal diantisipasi dengan lokal genius.

Waktu masih akan terus menggelinding dan pergerakkan waktu ini tidak lagi dalam kendali manusia-manusia Bali karena nampak mereka lebih larut tanpa daya didalamnya. Yang banyak bicara adalah materi dan semuanya diukur dengan materi. Bukan hal baru memang, tetapi kadarnya yang semakin dilauar ambang bataslah yang membuat saya sedih.

Tetapi ini semua mungkin sudah harusnya terjadi dan manusia Bali tiada kuasa lagi untuk melawannya. Kehidupan adalah sesuatu yang kita pandang dari apa yang dilihat hari ini. Hidup tidak lagi adalah perjalanan waktu untuk masa depan untuk anak-anak dan cucu-cucu manusia Bali kini.

Komentar

Postingan Populer